Kamis, 28 Oktober 2010

UPDATE 2010KTI KEBIDANAN : PERSEPSI ORANG TUA TENTANG BALITA YANG SULIT MAKAN DI DUSUN xxx

BUTUH REFERENSI KTI INI LENGKAP HUB 081225300100
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan gizi masyarakat dalam terwujudnya anak balita. Sementara itu masalah keterlantaran yang berhubungan dengan hambatan untuk hidup wajar sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai insane dan sumberdaya manusia yang produktif paling rawan dialami oleh balita (Depkes RI, 2003).
Gangguan sulit makan umumnya dialami anak-anak usia 1 – 5 tahun atau usia pra sekolah. Pada usia ini anak menjadi sulit makan karena semakin bertambahnya aktivitas mereka seperti bermain dan berlari sehingga kadang mereka menjadi malas untuk makan. Selain itu, pola pemberian makan yang tidak sesuai dengan keinginan anak dapat mempengaruhi anak menjadi sulit makan, karena pada saat pertumbuhan di usia balita anak akan mengalami masa perubahan bentuk makanan mulai dari ASI, makanan bertekstur halus dan sampai akhirnya makanan padat sebagai asupan utama (Irwanto, 2002).
Jika kondisi sulit makan ini tidak ditelusuri penyebabnya dan di carikan solusinya, maka akan membuat anak menolak untuk makan dan membuat anak jadi kekurangan gizi karena anak suka pilih-pilih makanan. Selain itu, jika anak selalu menganggap waktu makan sebagai saat yang tidak nyaman, ini akan berdampak buruk bagi kebiasaanm makan selanjutnya hingga dewasa, mengingat para orang tua memiliki konstribusi yang sangat penting terhadap pola makan anak. Selain itu, hal-hal yang penting yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam memenuhi gizi anak agar dapat berkembang optimal dan memiliki kebiasaan makan yang baik sejak kecil (Kurniasih, 2007).
Penyebab kurang gizi tidak sebatas kemiskinan “bisa juga karena problem pencernaan yang tidak dapat menyerap asupan gizi secara baik” balita penderita kurang gizi biasanya disertai penyakit seperti tuberculosis (TBC) dan bronchitis. Penyebab lainnya adalah keenganan orang tua untuk membawa balitanya ke posyandu untuk diperiksa perkembangannya. (Siswono, 2006).
Ketua I Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Prof. Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan, ada tiga faktor penyebab anak menderita gizi buruk khususnya balita, yakni faktor keluarga miskin, faktor ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak dan faktor penyakit bawaan pada anak, seperti jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernafasan dan diare (Siswono, 2008).
Menurut Tuti Soenardi dalam seminar mengatasi masalah makan pada bayi dan balita di Bentara Budaya, Jakarta pada hari minggu tanggal 25 Maret 2009 bahwa kondisi sulit makan ternyata bukan semata-mata kesalahan anak. misalnya, orang tua tidak memperkenalkan aneka jenis bahan makanan pada si kecil sejak dini. Menurut Tuti, sejak usia satu anak mestinya sudah diperkenalkan pada makanan keluarga, yaitu makanan yang disiapkan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga (Wiono, 2009).
Prevalensi gizi kurang yang sangat tinggi mencapai 30% hingga 40% dari populasi balita. Gizi kurang juga masih terjadi di 116 Kabupaten/Kota di tanah air. Sebagai gambaran angka kejadian gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia tahun 2002 masing-masing 8% dan 27,3% pada 2003 masing-masing meningkat menjadi 28,0%. Kondisi etrsebut cukup meprihatinkan, selain berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak, kekurangan gizi juga termasuk salah satu penyebab utama kematian balita. Data WHO tahun 2002 menunjukkan 60% kematian terkait denagn kasus gizi kurang, dan masalah kekurangan gizi umumnya ditemukan pada darah rawan pangan, daerah dengan jumlah penduduk miskin tinggi, serta daerah yangbelum mempunyai akses memadai terhadap sarang air bersih dan pelayanan kesehatan (Minarto, 2009).
Sedangkan status gizi balita di Jawa Timur tahun 2007, dimana didapatkan jumlah balitanya sebesar 2.772.579 balita. balita yang ditimbang sebesar 76,56%, sebanyak 1,52% balita yang dibawah garis merah dan 0,9% balita yang mengalami gizi buruk. (Profil Jawa Timur, 2007).
Pada tahun 2009 Departemen Kesehatan di Indonesia membuat berbagai program untuk mengatasi masalah gizi kurang pada balita. Seperti, program penanggulangan yang meliputi, pendidikan gizi, pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan keluarga sadar gizi (kadarzi), peningkatan survellans gizi. Semua itu dilakukan dengan tiga strategi utama yakni, pemberdayaan masyarakat, peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, monitoring dan informasi kesehatan. (http:/www. menkokesra. 90.id).
Peran serta orang tua dalam pemberian gizi yang baik pada balita sangat berpengaruh, karena gizi buruk dan gizi kurang pada balita terjadi melalui proses yang panjang dan utamanya sangat ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan nutrisi pada masa pertumbuhan balita yakni, sejak janin masih dalam kandungan hingga bayi dilahirkan sampai berusia dua tahun. (Riri Wijaya, 2006).
Menurut laporan organisasi kesehatan WHO, permasalahan gizi dapat ditunjukkan dengan besarnya angka kejadian gizi buruk yang menunjukkan kesehatan masyarakat Indonesia terendah di ASEAN, dan menduki peringkat ke 142 dari 170 negara. Data WHO menyebutkan angka kejadian gizi buruk pada balita tahun 2002 meningkat menjadi 8,3% dan gizi kurang 27,5%, serta pada tahun 2005 kejadian gizi buruk naik lagi menjadi 8,8% dan gizi kurang 28% (Dina, 2007).
Tahun 2007 lalu tercatat sebanyak 4 juta balita Indonesia mengalami gizi kurang dan 700.000 anak masuk kedalam kategori gizi buruk. Pendapat serupa dikemukakan dari Rachmat sentika, Sp.A, MARS, dari tim Ahli Anak komisi perlindungan Anak Indonesia, Rachmat menilai konduisi Asupan gizi balita di Indonesia memprihatinakn, penyebabnya asupan gizi yang kurang dan perubahan pola asuh yang tidak terpantau baik. Ahli gizi anak dari Istitusi Pertanian Bogor, Prof Dr Ir Ali Khomsan MS dan TIM Ahli anak dari komisi Perlindungan Anak Indonesia tb Rachmat sentika, senin (11/8) di Jakarta. Ali khomsan mengatakan, akar masalah yang menyebabkan tingginya angka anak yang menderita kurang gizi karena anak-anak makan seadanya dan dominan karbohidrat. Dalam koferensi pers yang diselenggarakan oleh kondisi untuk Indonesia sehat mengenai kampanye “Pentingnya Gizi Anak” dr.Dini Latief MSC, dari direktorat jendrl Bina kesehatan masyarakat, Depkeskesos mengatakan, meski pavelensi gizi buruk sudah menurun, dari 8,1& dari 1,7 juta balita yang menderita gizi kurang. Pada tahun 1999 menjadi 7,5% pada tahun 2000 berdasarkan survey sosial ekonomi nasional (Susenas) namun jumlah nominlnya masih terhitung tinggi, yaitu 160.000 balita (Dini, 2007).
Pada balita yang kenaikan berat badannya meningkat di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 dapat mencapai 76,52%, sedangkan di beberapa kabupaten dan kota yang sudah mempunyai target sebanyak 80% yaitu, seperti di Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Pati, Kudus, Brebes, Semarang. (Profil Kesehatan Jateng, 2007).
Di dusun Genuk RW. 9 Kelurahan tegalgondo jumlah balita yang datang pada posyandu hari minggu tanggal 10 Januari sejumlah 67 balita. Dari 67 balita tersebut yang mengalami kenaikan berat badannya 53 balita dan yang tidak mengalami kenaikan berat badannya ada 14 balita (Posyandu Genuksari, 2010). Dari studi pendahuluan, tidak jarang balita mempunyai berat badan normal, memiliki keluhan sulit makan dan balita yg tidak naik berat badannya. Dari data ini peneliti ingin mengerti bagaimana persepsi orang tua dalam mengatasi balita sulit makan dab bagaimana cara orang tua agar anaknya tetap mendapatkan gizi seimbang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas di dapatkan rumusan masalah yaitu “Bagaimana persepsi orang tua tentang balita yang sulit makan di Dusun xxxxx?”

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui persepsi orang tua tentang balita yang sulit makan.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui persepsi orang tua tentang pengertian balita yang sulit makan.
b. Untuk mengetahui persepsi orang tua tentang gejala anak sulit makan.
c. Untuk mengetahui persepsi orang tua tentang penyebab balita sulit makan.
d. Untuk mengetahui persepsi orang tua tentang dampak yang akan terjadi pada balita sulit makan.
e. Untuk mengetahui persepsi orang tua tentang cara mengatasi balita sulit makan.

D. Manfaat Peenlitian
1. Bagi Tenaga Kesehatan
Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan, masukan dalam pemberian informasi yang efektif di sesuaikan dengan persepsi orang tua tentang balita sulit makan sehingga bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang pemberian gizi yang baik pada balita.
2. Bagi Masyarakat
Memberikan wawasan baru menyangkut pola pemenuhan makanan dengan gizi berimbang yang selanjutnya diharapkan akan membantu meningkatkan kondisi masyarakat secara umum.
3. Bagi Peneliti
Mengetahui persepsi orang tua tentang balita sulit makan sehingga dapat memberikan gambaran tentang metode yang tepat dalam pendidikan kesehatan pada orang tua balita.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan pustaka yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya dunia ilmu pengetahuan tentang balita yang sulit makan.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Persepsi
1. Pengertian
Persepsi merupakan proses yang integred dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian persepsi dalam pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan disekitarnya dan juga keadaan diri sendiri (Walgito, 2004).
Persepsi adalah the interpretation of experience atau penafsiran terhadap sesuatu pengaman (Irwanto, 2002).
Persepsi adalah tanggapan terhadap sesuatu yang diperhatikan atau suatu pengalaman yang telah dilaluinya (Widayatun, 1999).
Faktor-faktor yang berperan dalam persepsi menurut Walgito (2003), yaitu :
a. Faktor internal (individu)
Mengenai keadaan individu yang dapat memepngaruhi hasil persepsi adalah segi jasmani dan psikologik, apabila sistem psikologinya terganggu maka akan mempengaruhi persepsi seseorang. Sedangkan dari segi psikologik yang mempengaruhi adalah pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan motivasi, ini akan berpengaruh pada seseorang untuk mengadakan persepsi.
b. Faktor eksternal (stimulus lingkungan)
Obyek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda.
Sedangkan menurut Widayatun (1999, faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu :
a. Persepsi bisa terjadi dengan sendirinya
b. Setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda
c. Belajar
d. Kesiapan mental
e. Kebutuhan dan motivasi
f. Gaya berpikir
Menurut Irwanto (2002) dalam psikologi umum menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempunyai persepsi yaitu :
a. Perhatian yang selektif
Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali rangsangan dari lingkungan, tetapi manusia sebagai individu tidak selalu akan memusatkan perhatiannya pada rangsangan tertentu saja.
b. Ciri-ciri rangsangan
Rangsangan yang bergerak diantara rangsangan yang diam akan lebih menarik perhatian, demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan yang intensitas rangsangannya paling kuat.
c. Nilai-nilai dan kebutuhan individu
Setiap orang mempunyai pola dan cita rasa sendiri dalam pengamatan.
d. Pengalaman terdahulu
Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang dalam memberikan persepsi.
2. Proses terjadinya persepsi
Pertama terjadinya persepsi adalah karena adanya obyek atau stimulus yang merangsang (obyek tersebut menjadi perhatian panca indera), kemudian stimulus atau obyek perhatian tersebut akan di bawa ke otak. Di otak terjadi adanya kesan, jawaban atau respond an kemudian akan dikembalikan lagi ke panca indra berupa tanggapan atau persepsi.
Obyek/stimulus  sensoris  di proses indra (input)  indra di otak (pusat syaraf)  berupa persepsi rangsangan pengalaman/respon.
Proses terjadinya persepsi ini memerlukan fenomena yaitu perhatian.
Perhatian adalah suatu konsep yang diberikan pada proses persepsi yang menyertakan input-input tertentu untuk diikut sertakan dalam suatu pengalaman yang disadari dalam suatu waktu tertentu, perhatian mempunyai ciri-ciri khusus yaitu fokus, margin dan berubah-ubah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar