Minggu, 28 November 2010

KTI KEBIDANAN : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSEPTOR DALAM MENGGUNAKAN KONTRASEPSI AKDR

KTI LENGKAP BAB 1-5 HUB : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Jumlah penduduk yang terus meningkat merupakan masalah besar bagi Negara-negara di dunia khususnya Negara berkembang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat (BKKBN, 2000).

Dari data Statistik Asia Pasifik tahun 2008 TFR Indonesia masih tergolong tinggi karena masih menduduki urutan terbesar ke 5 di Negara- negara ASEAN yaitu sebesar 2,38 per wanita dibanding dengan Brunei Darusalam 1,97 per wanita, Myanmar 1,95 per wanita, Vietnam 1,89 per wanita, Thailand 1,64 per wanita dan yang paling rendah adalah Singapura sebesar 1,07 per wanita.
Dari data sensus tahun 2000 didapat penduduk Indonesia berjumlah 203,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% dan jumlahnya akan terus bertambah sesuai dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP). Laju pertambahan penduduk 1,49 % per tahun-artinya setiap tahun jumlah penduduk Indonesia bertambah 3-3,5 juta jiwa. Bila tanpa pengendalian yang berarti atau tetap dengan pertumbuhan penduduk 1,49% per tahun, maka jumlah tersebut pada tahun 2010 akan terus bertambah menjadi 249 juta jiwa atau menjadi 293,7 juta jiwa pada tahun 2015.
Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dapat diterima masyarakat dunia, termasuk Indonesia dan menempati urutan ke-3 dalam pemakaian. Efektivitas pemakaian AKDR cukup tinggi yaitu mencapai 0,6 – 0,8 kehamilan/100 perempuan dalam 1 tahun pertama.
Kontrasepsi AKDR pada 2 tahun terakhir menempati posisi paling tinggi diantara metode kontrasepsi jangka panjang khususnya yang non hormonal. Kontrasepsi AKDR mempunyai kelebihan antara lain praktis dan ekonomis, tidak harus mengingat seperti minum pil, tidak ada efek sistemik, mencegah kehamilan dalam jangka panjang (BKKBN, 2000).
Berdasarkan data BKKBN Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 jumlah akseptor KB aktif di Provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar 4.964.579. Alat kontrasepsi yang digunakan terbagi atas suntik 2.722.766 (54,84%), pil 865.518 (17,44%), implant 474.178 (9,55%), AKDR 470.508 (9,48%), MOW 295.582 (5,95) kondom 70.423 (1,42%) dan MOP 65.604 (1,32%).
Kecamatan Tembalang terdapat 12 Desa. Dari data kecamatan Jumlah akseptor AKDR yang paling banyak terdapat di Desa Kedung Mundu yaitu 13,84 % dari 1286 peserta KB aktif, kemudian Kramas 11,06 %, Sambiroto 11,03 %, Tembalang 10,74 %, Sendang Mulyo 9,8 %, Meteseh 7,6 %, Jangli 5,17 %, Bulusan 5,09 %, Sendang Guwo 3,6 %, Tandang 2,66 %, dan yang paling sedikit di Rowosari yaitu 0,9 %. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang paling banyak digunakan di Desa Kedung Mundu adalah AKDR, dibanding Metode Kontrasepsi Jangka Panjang yang lain misalnya MOW sebanyak 116 (9,23%), MOP 13 (1,01%) dan implant 88 (6,84%).
Dari alasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor- Faktor yang mempengaruhi akseptor dalam menggunakan kontrasepsi AKDR di Desa ”.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu “apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor dalam menggunakan kontrasepsi AKDR di Desa “?

C.Tujuan
1.Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor dalam menggunakan kontrasepsi AKDR di Desa Kedung Mundu, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
2.Tujuan Khusus
a.Mengetahui karakteristik (Tingkat pendidikan, umur, paritas, tingkat ekonomi) akseptor yang menggunakan kontrasepsi AKDR.
b.Untuk mengetahui tingkat pengetahuan akseptor AKDR.
c.Mengetahui dukungan suami terhadap akseptor dalam memilih kontrasepsi AKDR.

D.Manfaat
1.Bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor dalam menggunakan kontrasepsi AKDR.
2.Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi bagi profesi bidan dalam upaya peningkatan pelayanan KB khususnya AKDR dan penumbuhan motivasi bidan untuk berperan aktif dalam penggunaan AKDR pada masyarakat.
3.Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi ilmiah untuk meneruskan penelitian selanjutnya dan pengembangan keilmuan tentang KB terutama kontrasepsi AKDR.
4.Bagi Peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengalaman bagi peneliti tentang penelitian yaitu dengan mengaplikasikan teori dan konsep yang didapatkan dari bangku kuliah dan menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor dalam menggunakan AKDR.

E.Keaslian Penelitian
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Niken Yuandari dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi PUS tidak memilih Alkon IUD di Desa Petak Banteng, kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo dengan jenis penelitian deskriptif dan metode cross sectional tahun 2008 dengan jumlah sample 79 responden.
Perbedaan dengan peneliti adalah judul peneliti faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor dalam menggunakan alat kontrasepsi AKDR di desa kedung mundu kecamatan tembalang kota semarang dengan jenis penelitian deskriptif sedangkan jumlah sample 36 responden, daerah penelitian adalah Semarang dan dilaksanakan pada tahun 2010.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.Landasan Teori
1.Akseptor
Akseptor adalah PUS (Pasangan Usia Subur) yang menggunakan salah satu alat kontrasepsi atau mencegah kehamilan baik dengan obat, alat, maupun operasi untuk mengatur kehamilan (Saifudin, 2003).
2.Kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur dengan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan, sehingga kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan dengan cara mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan sperma atau menghalangi pertemuan sel telur dengan sel sperma (Wiknjosastro, 2003). Di Indonesia alat kontrasepsi yang telah dikembangkan menjadi program adalah pil, suntik, AKDR, implan dan kontap pria (BKKBN, 2003).
Menurut Hartanto (2004) pelayanan kontrasepsi diupayakan untuk menurunkan angka kelahiran yang bermakna. Guna mencapai tujuan tersebut maka ditempuh kebijakan mengkategorikan tiga fase untuk mencapai sasaran yaitu:
a.Fase menunda kehamilan bagi PUS dengan usia istri kurang dari 20 tahun dengan mengunakan kontrasepsi pil, kondom dan AKDR.
Selengkapnya...

Selasa, 23 November 2010

KTI KEBIDANAN NEW 2010 : TINGKAT PENGETAHUAN IBU HAMIL DALAM MENCEGAH TERJADINYA ABORTUS DI POLI KLINIK

BUTUH REFERENSI KTI INI LENGKAP HUB : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Penyebab langsung kematian Ibu di Indonesia adalah pendarahan, infeksi dan eklamsia. Hanya sekitar 5 % kematian Ibu disebabkan oleh penyakit yang memburuk akibat kehamilan misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis (Saifudin, 2005).
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan (2007) menyebutkan bahwa 90 % kematian Ibu disebabkan oleh pendarahan, toksemia gravidarum, infeksi , partus lama dan komplikasi abortus. Komplikasi abortus itu sendiri meliputi pendarahan yang merupakan penyebab pertama kematian ibu di Indonesia infeksi perforasi, gagal ginjal akut, dan syok. Oleh karena itu BKKBN (2005) melaporkan abortus sebagai penyebab kematian maternal ke 4 setelah pendarahan, keracunan kehamilan (eklamsi maupun pre eklamsi) dan infeksi (Illewlyn, 2002).
Diketahui sekitar 15 – 40 % dari angka kejadian abortus terjadi pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil dan sisanya pada ibu yang sebelumnya belum mengetahui dirinya hamil. Departemen kesehatan RI (2003) meyatakan tingkat abortus di Indonesia masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara¬-negara maju di dunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus per tahun. Dari 2,3 juta kasus yang terjadi di Indonesia, sekitar 1 juta terjadi secara spontan, 0,6 juta diaborsi karena kegagalan KB dan 0,7 diaborsi karena tidak digunakannya alai KB. Fauzi (2003) menambah bahwa angka abortus spontan di Indonesia adalah 10 – 15 % dari 6 juta kehamilan tiap tahunnya atau berkisar 600 – 900 ribu/tahun. Sedangkan kejadian abortus buatan sekitar 750.000 – 1.000.000/tahun (Affandi, 2003).
Wanita yang berusia 40 tahunan masih bisa sukses, untuk mengandung secara normal. Namun, kualitas telur yang akan dibuahi buruk dan itu menjadi masalah pada pembuahan. Jadi, jangan menunda kehamilan hingga, usia ini karena, kesuburan wanita di atas 35 tahun mulai menurun, kehamilan dan persalinan pada usia im mempunyai resiko yang lebih besar pada kesehatan ibu dan bayinya. Mereka juga mempunyai resiko keguguran lebih besar (Indarti, 2007).
Narsin (1999) mengemukakan bahwa, kejadian abortus pada wanita yang berpendidikan rendah adalah pekerja yang banyak membutuhkan banyak tenaga, selain itu pengetahuan yang kurang dan faktor ketidaktahuan lalu bersikap masa bodoh terhadap kehamilannya sehingga cenderung untuk abortus lebih banyak (Damayanti, 2004).
Dari data yang diperoleh di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Xxx selama, tahun 2009 terdapat 218 (13,42 %) kasus abortus dari 1625 ibu hamil yang periksa di Poli Klinik Kebidanan dan kandungan RSUD Kota Xxx dengan 80,27 % (175 kasus) abortus incomplet dan 19,73 % (43 kasus missed abortus).
Berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan di Poli Klinik Kebidanan dan kandungan pada 10 ibu hamil, 7 (70%) diantaranya tidak mengetahui tentang cara mencegah abortus dan 3 (30 %) diantaranya sudah sedikit mengerti tentang cara mencegah abortus.
Oleh karena, itu penulis tertarik untuk mengambil judul "TINGKAT PENGETAHUAN IBU HAMIL DALAM MENCEGAH TERJADINYA ABORTUS DI POLI KLINIK Kebidanan dan Kandungan RSUD Kota Xxx.

B. Perumusan Masalah
BKKBN (2005) melaporkan abortus sebagai penyebab kematian maternal ke 4 setelah pendarahan, keracunan kehamilan (eklamsi maupun pre eklamsi) dan infeksi. Departemen kesehatan RI (2003) meyatakan tingkat abortus di Indonesia masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara¬-negara maju di dunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus per tahun.
Data di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Xxx selama, tahun 2009 terdapat 218 (13,42 %) kasus abortus dari 1625 ibu hamil yang periksa di Poli Klinik Kebidanan dan kandungan RSUD Kota Xxx dengan 80,27 % (175 kasus) abortus incomplet dan 19,73 % (43 kasus missed abortus). Dari 10 ibu hamil, 7 (70%) diantaranya tidak mengetahui tentang cara mencegah abortus dan 3 (30 %) diantaranya sudah sedikit mengerti tentang cara mencegah abortus. Maka peneliti menentukan Riset Questions “Bagaimana tingkat pengetahuan ibu hamil dalam mencegah terjadinya abortus?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat pengetahuan Ibu hamil dalam mencegah terjadinya abortus di Poli Klinik Kebidanan dan Kandungan RSUD Kota Xxx
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik Ibu hamil di Poli Klinik Kebidanan dan Kandungan RSUD Kota Xxx.
b. Mengetahui tingkat pengetahuan Ibu hamil dalam mencegah terjadinya abortus di Poli Klinik Kebidanan dan Kandungan RSUD Kota Xxx.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi
1. Ibu Hamil
Dapat memberikan informasi kepada ibu tentang bagaimana cara mencegah terjadinya abortus. Sehingga kehamilan dapat berjalan dengan lancar dan ibu dapat melahirkan bayinya dengan selamat.
2. Tenaga Kesehatan
Dapat memberikan masukan pada tenaga kesehatan yang lain untuk terus memberikan pendidikan tanda bahaya kehamilan khususnya abortus.


3. Akademi Kebidanan
Dapat menjadikan masukan dalam memberikan materi khususnya dalam mencegah terjadinya abortus.
4. Peneliti
Dapat menambah pengetahuan tentang cara mencegah terjadinya abortus, serta menerapkan teori yang diperoleh selama pendidikan.
5. Peneliti yang Lain
Dapat digunakan sebagai data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pengetahuan ibu hamil dalam mencegah terjadinya abortus.



E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian yang terkait dengan abortus adalah sebagai berikut :
No Pengarang Judul Sampel Metode Hasil
Siti Sumarni
(2004)

Study deskriptif faktor- faktor yang menyebabkan abortus di RSLJD Dr. Soeselo Slawi 150 kasus Abortus Metode
Diskriptif
Kejadian abortus
berdasarkan faktor
abortus di RSUD Dr.
Soeselo Slawi adalah
tidak terdeteksi penyebabnya ada
116 kasus (77, 33 %), faktor maternal. 27 (18 %),
lingkungan 7 (4,67)
Sasminaryati
(2008) Hubungan antara usia dan paritas Ibu hamil dengan kejadian abortus di RSUD Kota Salatiga 52 responden yang mengalami abortus Metode cros
sectional Kejadian abortus sebagian besar dialami oleh Ibu yang berusia, < 20 tahun (42,3 %) dan usia, > 35 tahun (34, 6 %).
Faktor paritas primipara dan grandemultipara adalah golongan paritas yang banyak mengalami abortus, yaitu masing-masing 40,4 %.



Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu sampelnya, dalam penelitian ini sampelnya 34 ibu hamil sedangkan penelitian terdahulu sampelnya adalah ibu yang mengalami abortus. Dalam penelitian terdahulu variabel penelitian adalah faktor-faktor yang menyebabkan abortus, hubungan usia dan paritas dengan kejadian abortus dan dalam penelitian sekarang variabelnya adalah tingkat pengetahuan ibu hamil dalam mencegah terjadinya abortus.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI
1. Pengetahuan
a. Definisi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu (Notoatmojo, 2003). Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
b. Manfaat Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan atau kognitif menjadi domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh ilmu pengetahuan akan langgeng dari perilaku yang didasari oleh pengetahuan.
c. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2003) dibagi 6 tingkatan yaitu :
1) Tahu (know)
Tahu artinya mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benamr tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
3) Aplikasi (application)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4) Analisa (analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya
Selengkapnya...

Senin, 22 November 2010

KTI KEBIDANAN BARU : GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR (WUS) TENTANG PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI XXX

DAPETIN KTI INI BAB 1-5 LENGKAP HUB : 081225300100
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan dengan bertambahnya usia harapan hidup dan perkembangan industri menyebabkan manusia makin menghadapi kemungkinan keganasan (Manuaba, 2001). Salah satu keganasan yang dapat menyebabkan kematian wanita adalah Kanker leher rahim (Karsinoma Serviks Uteri) atau yang lebih dikenal sebagai kanker serviks merupakan jenis penyakit kanker yang paling banyak diderita wanita di atas usia 18 tahun. Penyebab langsung kanker serviks belum diketahui secara pasti.

Faktor ekstrinsik yang diduga berhubungan dengan insiden “kanker serviks” adalah Infeksi Human Papiloma Virus (Mansjoer, 2001). Kanker leher rahim ini menduduki urutan nomor 2 penyakit kanker di dunia bahkan sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia didiagnosa menderita kanker leher rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahun (Depkes RI, 2008).
Pada tahun 2003 terjadi kasus baru kanker leher rahim sebanyak 20 hingga 26 juta jiwa dan 13 hingga 17 juta jiwa meninggal diantaranya. Peningkatan angka kejadian kanker diperkirakan sebesar 1% per tahun. Pada tahun 2008 disampaikan dalam World Cancer Report terjadi 12 juta jiwa pasien baru didiagnosis kanker leher rahim. Berdasarkan laporan dari American Cancer Society, kematian kanker leher rahim di dunia sekitar 6.000-7.000 orang/tahun. Di Indonesia diperkirakan terdapat penderita kanker baru 1:1000 penduduk per tahun. Di negara berkembang termasuk Indonesia, 80-90 % kasus kanker biasanya sulit disembuhkan karena penderita datang berobat setelah dalam Stadium Lanjut (Depkes, 2008).
Kanker leher rahim disebabkan oleh HPV (Human Papiloma Virus). Menurut Bambang (2008) mengatakan kaum lelaki berperan sangat besar dalam penularan HPV. Laki-laki yang suka bergati-ganti pasangan beresiko besar menularkan virus papiloma dari pasangannya yang menderita kanker leher rahim ke pasangannya yang baru (Andreas, 2008). Pada umumnya penderita kanker seviks adalah umur 30-60 tahun tetapi hal ini sangat rentan terjadi pada wanita usia 35-55 tahun. (Bobak, 2004).
Kanker serviks semakin berkembang salah satu alasannya disebabkan oleh rendahnya cakupan deteksi dini atau skrining. Berdasarkan estimasi tahun 1985 (PATH 2000), hanya 5 % perempuan di negara berkembang yang mendapatkan pelayanan deteksi dini dibandingkan dengan 40 % perempuan di negara maju. Cakupan deteksi dini kanker serviks di Indonesia hanya 5 %, idealnya adalah 8 % (Heffner, 2006).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar sepertiga kanker dapat disembuhkan jika didiagnosis dan ditangani pada stadium dini, untuk itu deteksi dini sebagai upaya pencegahan karsinoma serviks uteri sangat dibutuhkan (Nofa, 2005). Salah satu usaha yang ditempuh yaitu dengan pemeriksaan apusan pap (Pap smear). Pap smear sebagai uji coba penapisan (screening) terbukti sangat berhasil dalam pencegahan kanker leher rahim. Deteksi perubahan-perubahan pramaligna (displasia) memberi peluang bagi keberhasilan pengobatan dan pencegahan karsinoma serviks uteri (Ray bum, 2001). Kini Pap Smear telah dikenal sebagai suatu pemeriksaan yang aman, murah dan telah dipakai bertahun-tahun untuk mendeteksi kelainan sel-sel rahim. Semakin dini sel-sel abnormal terdeteksi semakin rendah resiko seseorang menderita kanker leher rahim (Diananda, 2008).
Rendahnya cakupan skrining kanker serviks (Pap smear) disebabkan berbagai hal yaitu terbatasnya akses skrining dan pengobatan. Serta masih banyak wanita di Indonesia yang kurang mendapat informasi dan pelayanan terhadap penyakit kanker leher rahim karena tingkat ekonomi rendah dan tingkat pengetahuan wanita yang kurang tentang papsmear (Meutia, 2008). Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemeriksaan pap smear. Wanita dengan pengetahuan yang baik mengenai pap smear cenderung memeriksakan dirinya untuk dilakukan pap smear.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Tlogosari Kulon pada bulan Mei didapatkan data yang berkunjung di puskesmas sebanyak 125 wanita usia subur yang melakukan papsmear sebanyak 9 orang, sisanya 116 orang tidak melakukan pap smear.
Dari hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Tingkat Pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) tentang Pemeriksaan Pap Smear di Puskesmas Tlogosari Kulon”


B. Perumusan Masalah
Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang dapat dicegah dan dapat disembuhkan jika diketahui secara dini, salah satu caranya dengan pemeriksaan apusan pap smear. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan skrining adalah kurangnya pengetahuan wanita akan pentingnya pemeriksan pap smear. Pengetahuan sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku wanita terhadap pemeriksaan pap smear. Wanita yang memiliki pengetahuan yang baik secara tidak langsung sadar akan pentingnya pap smear dan cenderung memeriksakan dirinya untuk pap smear. Dengan adanya hal tersebut maka peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang “Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan WUS tentang pemeriksaan Pap Smear di Puskesmas xxx.”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA USIA SUBUR (WUS) TENTANG PEMERIKSAAN PAP SMEAR.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik Wanita Usia Subur (WUS) tentang pemeriksaan pap smear berdasarkan umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan Wanita Usia Subur (WUS) tentang pemeriksaan pap smear.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam penerapan ilmu yang didapat selama masa pendidikan di Akademi Kebidanan xxxx,dalam bidang kesehatan reproduksi wanita, khususnya tentang pap smear.

2. Bagi Instansi Pendidikan
Menambah bahan kepustakaan di AKBID xxx yang dapat dijadikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan panduan bagi mahasiswi yang akan melanjutkan penelitian.

3. Bagi Responden
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi responden wanita dibidang kesehatan reproduksi, khususnya tentang manfaat pemeriksaan pap smear.
Selengkapnya...

KTI BIDAN : PERBEDAAN TGKAT NYERI PD PERSALINAN NORMAL PERVAGINAM KALA I FASE AKTIF YG DLAKUKAN HYPNOBIRTHING DAN TANPA HYPNOBIRTHING PD NULLIPAR

BUTUH KTILENGKAP BAB 1-5 HUB : 081 225 300 100

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap tahun lebih dari 200 juta wanita hamil. Sebagian besar kehamilan berakhir dengan kelahiran bayi hidup pada ibu yang sehat walaupun demikian pada beberapa kasus kelahiran bukanlah peristiwa membahagiakan tetapi menjadi suatu masalah yang penuh dengan rasa nyeri, rasa takut, penderitaan dan bahkan kematian (WHO, 2003).
Rasa nyeri pada persalinan adalah nyeri kontraksi uterus yang dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatis. Nyeri yang hebat pada persalinan dapat menyebabkan perubahan-perubahan fisiologi tubuh seperti; tekanan darah menjadi naik, denyut jantung meningkat, laju pernafasan meningkat, dan apabila tidak segera diatasi maka akan meningkatkan rasa khawatir, tegang, takut dan stres. Peningkatan konsumsi glukosa tubuh pada ibu bersalin yang mengalami stres menyebabkan kelelahan dan sekresi katekolamin yang menghambat kontraksi uterus, hal tersebut menyebabkan persalinan lama yang akhirnya menyebabkan cemas pada ibu, peningkatan nyeri dan stres berkepanjangan (Bobak, 2005, Maternity Nursing, http://health.discovery.com. Diakses tanggal 13 Maret 2009).
Nyeri dan ketakutan menimbulkan stres, yang berakibat meningkatnya sekresi adrenalin. Salah satu efek adrenalin adalah kontraksi pembuluh darah sehingga suplay oksigen pada janin berkurang, penurunan aliran darah juga menyebabkan melemahnya kontraksi rahim dan berakibat memanjangnya proses persalinan. Tidak hanya produksi sekresi adrenalin yang meningkat, tetapi ACTH (Adrenocorticotropin Tiroid Hormon) juga meningkat, menyebabkan peningkatan kadar kortisol serum dan gula darah. Semua efek tersebut berpotensi membahayakan ibu dan janin, oleh karena itu penanggulangan nyeri persalinan bukan hanya untuk kenikmatan saja, tetapi menjadi kebutuhan mendasar untuk memutuskan lingkaran nyeri dan segala akibat yang ditimbulkannya (Hutajulu, 2003, Pemberian Valetamat Bromida dibandingkan Hioscine Butil Bromida untuk mengurangi Nyeri Persalinan. http://library.usu.ac.id. Diakses 13 Maret 2009).
Sensasi nyeri umumnya dirasakan sangat berat terutama oleh ibu yang menjalani persalinan anak pertama (nullipara) (Ahmad, 2008. Kehadiran Suami Mengurangi Rasa Takut. http://www.kaltimpost.net. Diakses 19 Maret 2009). Hal ini diakibatkan calon ibu tidak mempunyai gambaran persalinan yang bisa menjadi acuan tentang apa yang akan terjadi selama proses persalinan, ketidak-pastian inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegugupan yang dirasakan calon ibu dalam menghadapi persalinannya (Nolan, 2003: 142).
Beberapa faktor yang menyebabkan rasa nyeri pada persalinan antara lain; anoksia (kekurangan oksigen) pada otot rahim, otot rahim yang berkontraksi, penegangan serviks (mulut rahim) adanya tarikan-tarikan pada tuba (saluran telur), ovarium dan ligamen-ligamen penyangga uterus, penekanan pada saluran dan kandung kemih, rektum serta regangan otot-otot dasar panggul (Suheimi, 2008, Persalinan Tanpa Rasa Nyeri. http://ksuemi.blogspot.com. Diakses tanggal 20 Maret 2009). Berbagai hambatan fisik dan psikologis pada ibu saat persalinan juga dapat menambah rasa sakit. Saat yang paling melelahkan, berat, dan kebanyakan ibu mulai merasakan sakit atau nyeri adalah kala I fase aktif , dalam fase ini kebanyakan ibu merasakan sakit yang hebat karena kegiatan rahim mulai lebih aktif. Pada fase ini kontraksi semakin lama, semakin kuat, dan semakin sering (Danuatmadja, 2004: 31 - 33).
Upaya-upaya untuk menanggulangi nyeri pada persalinan telah dilakukan berbagai cara antara lain secara farmakologi dan nonfarmakologi. Metode farmakologi pada persalinan pervaginam antara lain agen sedatif, analgesi dan anestesi. Agen sedatif berfungsi meningkatkan relaksasi, dan menginduksi rasa kantuk hanya pada tahap awal persalinan. Analgesi adalah hilangnya persepsi tentang nyeri, yang mungkin lokal, pada regional tertentu, atau mungkin pada seluruh tubuh. Lokal dan regional anestesi biasanya digunakan pada kebidanan untuk menghilangkan nyeri tanpa membahayakan janin. Analgesi dapat juga didapat dengan cara hipnosis (sugesti), medikasi sistemik, atau agen inhalasi. Anestesi adalah hilangnya kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri dan sensasi lainnya. Dapat dicapai dengan bermacam-macam agen dan teknik. Hilangnya rasa nyeri biasanya dihubungkan dengan anestesi umum, namun pengertian ini tidak tepat karena hilangnya sensasi secara total dapat dicapai dengan berbagai cara.
Analgesia dalam persalinan merupakan suatu problema yang unik. Sebuah persalinan dimulai tanpa adanya peringatan, dan anestesi dalam kebidanan mungkin diperlukan meskipun penderita baru saja selesai makan. Lebih lanjut lagi, pengosongan lambung menjadi lebih lambat selama kehamilan dan bahkan menjadi sangat lambat selama persalinan terutama setelah diberikan analgesia. Muntah dengan aspirasi cairan lambung adalah ancaman yang serius dan sering menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas maternal.
Ada tiga prinsip yang sangat esensial pada penghilang nyeri di kebidanan yaitu, mudah, aman bagi ibu, dan aman bagi fetus. Wanita yang mendapat analgesi dalam bentuk apapun harus dimonitor secara ketat. Karena resikonya bervariasi tergantung dari tipe analgesi yang dipilih. Monitor yang baik setelah pemberian anestesi spinal atau epidural anestesi termasuk pengukuran berkala tekanan darah, level anestesi, dan pengukuran oksigenasi dari ibu dengan menggunakan pulse oksimeter. Pengendalian nyeri dengan menggunakan farmakologi lebih mahal dan mempunyai efek samping pada ibu dan bayi (http://www.bluefame.com. Diakses 22 Maret 2009).
Cara-cara yang dilakukan harus memenuhi berbagai persyaratan antara lain aman, efektif dan mempunyai angka kepuasan yang tinggi, efek samping ibu minimal dan tidak menyebabkan gejala sisa pada ibu maupun bayi (Suhair, dkk, 2008, Perbandingan Evektifitas Tentang Transdermal dengan Plasebo sebagai Analgesia pada Persalinan Kala I Fase Aktif. http://www.Obsgin-unsri.org. Diakses tangal 21 Maret 2009). Menurut potter (2005: 1531) metode nonfarmakologi antara lain distraksi, biofeed back, hipnosis-diri, mengurangi persepsi nyeri, serta stimulasi kutaneus (masase, mandi air hangat, kompres panas atau dingin, dan stimulasi saraf elektrik transkutan). Pengendalian nyeri nonfarmakologi lebih murah, simpel, efektif, dan tanpa efek yang merugikan, metode ini juga dapat meningkatkan kepuasan selama persalinan karena ibu dapat mengontrol perasaannya dan kekuatannya (Arifi, 2007, Teknik Akupuntur pada Nyeri Persalinan, http://lely-nursing-info.blogspot.co.id. Diakses 26 Maret 2009).
Intervensi untuk mengurangi ketidak-nyamanan atau nyeri selama persalinan nonfarmakologi yang salah satunya dengan menggunakan teknik relaksasi menurut Dick-Read dan Lamage (1944) bahwa nyeri persalinan yang disebabkan oleh sindrom takut, tegang dan nyeri (fear-tension-paint-syndrome) dapat dikurangi dengan berbagai metode yaitu menaikkan pengetahuan ibu-ibu hamil tentang hal-hal yang akan terjadi pada suatu persalinan (Bobak, 2004, Maternity Nursing, http://health.discovery.com. Diakses tanggal 13 Maret 2009).
Berbagai tindakan keperawatan dapat dilakukan untuk meringankan nyeri yang dirasakan ibu bersalin untuk mencegah terjadinya komplikasi persalinan. Hypnobirthing merupakan teknik untuk mencapai relaksasi yang menggunakan pola pernapasan lambat, fokus, tenang dan dalam keadaan sadar penuh (Anonim, 2007, http://www.hanyawanita.com. Diakses tanggal 23 Maret 2009).
Selain itu hypnobirthing mampu melancarkan air susu ibu (ASI) bagi ibu setelah melahirkan, menjaga agar tidak mengalami baby blues, memiliki bayi yang sehat secara fisik dan psikologi, mengontrol emosi agar terhindar dari stres, serta menjaga diri dari ketakutan dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari depresi. Semua itu didasari dengan pengendalian pikiran negatif yang dapat membuat tubuh menjadi sakit serta lebih mengembangkan pikiran yang positif akan berdampak positif bagi tubuh (Pro-Vclinic, 2008. Hypnobirthing Tidak Sakit Lagi. http://www.pro-vclinic.com./2008/11. Diakses tanggal 24 Maret 2009).
Persalinan dengan metode hypnobirthing harus berfokus untuk menghilangkan sindrom ketakutan, ketegangan, nyeri (fear-tension-paint-syndrome), bersemangat dan siap menyongsong persalinan yang normal alami dalam keadaan sadar dan terjaga, serta bebas dari rasa takut dan nyeri yang ditimbulkanya. Rasa takut menyebabkan pembuluh-pembuluh arteri yang mengarah ke rahim berkontraksi dan menegang, sehingga menimbulkan rasa sakit (nyeri). Kalau tanpa adanya rasa takut, otot-otot melemas dan melentur, servik (leher rahim) dapat menipis serta membuka secara alami sewaktu tubuh berdenyut secara berirama dan mendorong bayi dengan mudah sehingga membuat persalinan berlangsung secara lancar relatif lebih cepat dengan keluhan nyeri yang sangat minimal. Dengan terbiasanya ibu melakukan relaksasi, jalan lahir untuk janin akan lebih mudah terbuka sehingga ibu tidak akan terlalu kelelahan saat melahirkan. Jadi dengan latihan relaksasi yang rutin, ibu akan terbiasa pada kondisi ini dan akan sangat terbantu dalam proses persalinannya (Andriana, 2007: 37).
Penelitian yang sejenis adalah Yuliatun (2008), meneliti tentang pengalaman ibu yang dilakukan metode hypnobirthing saat persalinan, dengan menggunakan wawancara. Hasil penelitian tersebut adalah sebagian besar ibu yang mengalami persalinan dengan cara metode hypnobirthing tidak merasakan sakit karena tidak ada robekan pada jalan lahir maupun luka episiotomi, sehingga ibu yang setelah melahirkan bisa langsung melakukan aktifitas seperti biasa.
Menurut data pada bulan agustus 2008 di daerah Jawa Tengah terdapat beberapa rumah sakit atau rumah bersalin yang menggunakan persalinan dengan metode hypnobirthing diantaranya rumah bersalin Margo Waluyo di Solo, rumah sakit Happyland di Yogyakarta, rumah bersalin xxx di Cilacap, rumah sakit YAKKUM di Kebumen, dari data tersebut peneliti akan melakukan penelitian di rumah bersalin TANTRI Cilacap dengan alasan, karena rumah bersalin xxxx mempunyai dua metode persalinan yaitu persalinan normal dengan menggunakan metode hypnobirthing dan tanpa menggunakan metode hypnobirthing sehingga dapat mempermudah peneliti untuk membandingkan perbedaan tingkat nyeri pada persalinan kala I fase aktif yang dilakukan hypnobirthing dan tanpa hypnobirthing pada nullipara (Pro – Vclinic, 2008. Hypnobirthing Tidak Sakit Lagi. http://www.pro-vclinic.com./2008/11. Diakses tanggal 24 Maret 2009).
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa ibu dalam proses persalinan akan mengalami rasa nyeri. Salah satu tindakan untuk mengatasinya adalah melakukan hypnobirthing. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang “perbedaan tingkat nyeri pada persalinan normal pervaginam kala I fase aktif yang dilakukan hypnobirthing dan tanpa hypnobirthing pada nullipara di rumah bersalin xxx tahun 2009”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini “Adakah perbedaan tingkat nyeri pada persalinan normal pervaginam kala I fase aktif yang dilakukan hypnobirthing dan tanpa hypnobirthing pada nullipara di rumah bersalin xxx tahun 2009 ”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan tingkat nyeri pada persalinan normal pervaginam kala I fase aktif yang dilakukan hypnobirthing dan tanpa hypnobirthing pada nullipara di rumah bersalin
Selengkapnya...

Sabtu, 20 November 2010

KTI KEBIDANAN TERBARU 2010 : PERSEPSI CALON PENGANTIN TENTANG PROSES KEHAMILAN DI WILAYAH KECAMATAN XXX

KTI LENGKAP MURAH FILE MS WORD BAB 1-5 HUBUNGI Hp. 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat menjadi tempat tumbuh kembangnya regenerasi masyarakat (Fatayat NU, 2003)
Membangun keluarga harmonis, bahagia, sejahtera dan mandiri merupakan keinginan setiap pasangan muda calon pengantin yang membangun kehidupan rumah tangga melalui jenjang pernikahan.
Secara operasional program ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui pembinaan ketahanan keluarga diantaranya adalah pembinaan calon pengantin. Pembinaan calon pengantin dapat dimulai dari pendewasaan usia perkawinan, bagi perempuan 20 tahun dan laki – laki 25 tahun. (buletin informasi BKKBN,2006) . Angka statistik pernikahan dini dengan pengantin berumur dibawah 16 tahun , secara nasional mencapai lebih dari seperempat. Bahkan dibeberapa daerah sepertiga , dari pernikahan yang terjadi, tepatnya di Jawa Timur 39,43%, Kalimantan Selatan 35,48%, Jambi 30,63%, Jawa Barat 36%. Dibanyak daerah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. (Adek Ratna Jameela,2003).
Dengan adanya pendewasan usia perkawinan maka akan membantu dalam kesiapan fisik,mental, dan social dari calon pengantin. Selain pendewasaan usia perkawinan, para calon pengantin yang akan membina keluarga menjadi penting untuk mengetahui kesehatan reproduksi. Namun tidak sedikit dari calon pengantin tersebut memiliki bekal pengetahuan keiapan mental yang memadai bagaimana kehidupan rumah tangga. Apalagi pengetahuan yang menyangkut kesehatan reproduksi dan keluarga berencana yang menjadi landasan dasar dalam membangun keluarga sejahtera / berkualitas. (BKKBN, 2005). Oleh karena itu calon pengantin juga harus dibekali dengan pegetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi dan hak – hak reproduksi sehingga siap untuk menjadi seorang ibu atau seorang ayah. (BKKBN,2006).
Kesehatan reproduksi yang dimaksud disini adalah bagaimana proses kehamilan terjadi. Sebelumnya, terdapat 3 kesiapan yang menyatakan bahwa para calon pengantin siap untuk menyambut hadirnya kehamilan, yaitu pertama disebut dengan siap fisik yang berarti kesiapan usia reproduksi sehat yaitu 20-30 tahun bagi wanita. Kedua disebut siap sosial dan ekonomi yang berarti mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti pakaian, makanan, minuman, tempat tinggal, dan pendidikan. Ketiga disebut siap mental/emosi/psikologis yang berarti kesiapan mental adalah dimana pasanngan calon pengantin ingin mempunyai anak dan sudah siap menjadi orang tua termasuk mengasuh dan mendidiknya.(bulletin kencana,2006). Kehamilan terjadi berawal peristiwa fertilisasi yaitu saat spermatozoa membuahi ovum di tuba fallopi,kemudian terjadilah zigot,zigot membelah secara mitosis menjadi dua, empat, delapan, enambelas, dan seterusnya. Pada saat 32 sel disebut morula, di dalam morula terdapat rongga yang disebut blastosel yang berisi cairan yang dikeluarkan oleh tuba fallopi, bentuk ini kemudian disebut blastosit. Lapisan terluar blastosit disebut trofoblas merupakan dinding blastosit yang berfungsi untuk menyerap makanan dan merupakan calon tembuni atau ari-ari (plasenta), sedangkan masa di dalamnya disebut simpul embrio (embrionik knot) merupakan calon janin. Blastosit ini bergerak menuju uterus untuk mengadakan implantasi (perlekatan dengan dinding uterus). Pada hari ke-4 atau ke-5 sesudah ovulasi, balstosit sampai di rongga uterus, hormon progesterone merangsang pertumbuhan uterus, dindingnya tebal, lunak, banyak mengandung pembuluh darah, serta mengeluarkan secret seperti air susu (uterin milk) sebagai makanan embrio. Enam hari setelah fertilisasi, trofoblas menempel pada dinding uterus (melakukan implantasi) dan melepaskan hormone korionik gonadotropin. Hormon ini melindungi kehamilan dengan cara menstimulasi hormon estrogen dan progesterone sehingga mencegah terjadinya menstruasi. Trofoblas kemudian menebal beberapa lapis, permukaannya berjonjot dengan tujuan memperluas daerah penyerapan makanan. Embrio telah kuat menempel setelah hari ke-12 dari fertilisasi.( Biologi - Kehamilan dan Persalinan, 2006 ). Agar mudah mendapatkan kehamilan maka kedua pasangan harus menjaga kesehatannya dan melakukan hubungan seksual diusahakan disesuaikan dengan masa subur wanita.
Angka statistic menunjukkan lebih dari 75% calon pengantin yang berpersepsi bahwa proses kehamilan akan terjadi saat pria dan wanita melakukan hubungan seksual, ada juga yang mengatakan bahwa proses kehamilan terjadi karena pertemuan antara darah ibu dengan cairan bapak. (Nico Asolokobal,2003). Persepsi diatas timbul karena adanya informasi atau interaksi baik secara verbal maupun non verbal. Tetapi persepsi diatas dapat diubah dengan memberikan informasi kepada seseorang / organisasi yang memiliki persepsi tersebut. (Cah Pacitan,2008).
Dari studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada tanggal 14-15 Januari 2010 dengan cara door to door dan mewawancarai 10 calon pengantin wanita di wilayah kecamatan xxx Kabupaten xxx, didapatkan 8 dari 10 responden menyatakan tidak pernah diberi pembekalan atau penyuluhan dari pihak manapun mengenai kehamilan atau tentang kesehatan reproduksi pra nikah dan juga tidak mengetahui bagaimanakah kehamilan terjadi serta bagaimana perawatannya saat hamil. Dari keterangan diatas penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana persepsi calon pengantin tentang proses kehamilan di wilayah Kecamatan xxx Kabupaten xxx.

B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas penulis merumuskan permasalahan penelitian ini adalah “ Bagaimana Persepsi Calon Pengantin tentang Proses Kehamilan di Wilayah Kecamatan xxx Kabupaten xxx”.

C.Tujuan Penelitian
1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui persepsi calon pengantin tentang proses kehamilan di wilayah kecamatan xxx.
2.Tujuan Khusus
a)Untuk mengetahui tentang pengertian kehamilan
b)Untuk mengetahui tentang tanda – tanda kehamilan
c)Untuk mengetahui tentang proses kehamilan
d)Untuk mengetahui tentang perawatan selama hamil trimester pertama
D.Manfaat Penelitian
1.Manfaat Teoritis
Dalam ilmu pengetahuan adalah memberi sumbangan dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat.
2.Manfaat Praktik
a.Bagi wilayah kecamatan xxx
Diharapkan dapat dijadikan bahan masukan untuk memberi pembekalan kepada calon pengantin tentang kesehatan reproduksi
b.Bagi peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai kesehatan reproduksi calon pengantin dan dalam rangka memenuhi Tugas Akhir Program Diploma Kebidanan xxx.
c.Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat digunakan data dasar untuk melaksanakan penelitian yang lebih lanjut.

E.Keaslian Penelitian
Dalam penelitian persepsi yang dilakukan oleh Marlina Ayu Wulandari subjek yang diteliti adalah remaja, yang membahas tentang keputihan, menggunakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan wawancara, dan dilakukan pada bulan juli-agustus 2008.
Sedang dalam penelitian yang penulis lakukan, penelitian tentang persepsi, subjek yang diteliti adalah calon pengantin wanita, yang membahas tentang proses kehamilan, menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan cara wawancara dan penelitian dilakukan pada bulan februari-maret 2010.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Persepsi
Pengertian
Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa inggris perception, berasal dari bahasa latin perception ; dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2009).
Persepsi (perception) dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara sesseorang melihat sesuatu sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978, dalam Sobur, 2009).
Persepsi merupakan suatu yang didahului oleh proses pengindraan yaitu merupkan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra atau juga disebut proses sensoris. Namun prose situ tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tesebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Desiderato, 1976 : 129, dalam Jalaluddi R, 2001).
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih mengorganisasikan, dan menafsirkan ransangan dari linkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. (Mulyana, 2001)
Persepsi adalah proses diterimanya rangsang (objek, kwulitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai rangsang itu disadari dan dimengerti (Irwanto, 2002).
Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika kita tidak akurat kita tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antar individu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas (Mulyono, 2000 : 167-168 dalam sour, 2009).
Selengkapnya...

KTI KEBIDANAN TERBARU 2010 :STUDY DESKRIPTIF PERILAKU IBU YANG MEMPUNYAI BAYI UMUR 6-24 BULAN DALAM PEMBERIAN MP-ASI DI DESA XXXX

KTI LENGKAP BAB 1-5 HUBUNGI : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu aspek dari kehidupan masyarakat, mutu hidup, produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada bayi dan anak-anak. Menurunya daya fisik serta terganggunya perkembangan mental adalah masalah langsung atau tidak langsung dari gizi kurang.
Terjadinya kerawanan gizi pada bayi selain disebabkan karena makanan yang kurang juga karena Air Susu Ibu (ASI) banyak diganti susu botol dengan cara dan jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan (Depkes RI, 2007).
Pemerintah dalam menanggulangi gizi kurang dan gizi buruk adalah pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI). Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institusi Pertanian Bogor memandang bahwa progam itu masih belum efektif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) World Health Organitation telah menyusun Decision Chart For Implementation Of Selektive Feeding Progam. Jika tingkat Prevalensi Malnutrisi 15% atau lebih di suatu Negara, bantuan makanan tambahan, termasuk MP-ASI, harus diberikan kepada seluruh kelompok rawan, yaitu bayi, anak balita, serta ibu hamil dan menyusui (Kompas, 2008).
Makanan pendamping ASI diberikan sebagai makanan tambahan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan makanan yang adekuat dan untuk menunjang tercapainya tumbuh kembang optimal. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) menurut IDAI (2002) sebaiknya diberikan mulai umur 6 bulan.
Perbaikan konsumsi pangan penduduk berarti meningkatkan jumlah pangan dan gizi serta mutu makanan yang dikonsumsi. Upaya perbaikan gizi tersebut harus dimulai sejak dini, yaitu sejak bayi. Masa bayi (0-12 bulan) adalah masa yang paling penting dalam perkembangan manusia. Hal ini karena pada masa inilah terjadi perkembangan otak dan kecerdasan yang akan mempengaruhi masa dewasa. Kekurangan gizi pada masa bayi akan mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak yang tidak dapat diperbaiki pada periode selanjutnya. Pada usia 6 bulan pencernaan bayi mulai kuat sehingga pemberian makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) bisa diberikan karena jika terlalu dini akan menurunkan konsumsi ASI dan mengalami gangguan pencernaan, tetapi apabila terlambat akan menyebabkan kurang gizi bila terjadi dalam waktu yang lama (Kompas 2008).
Dalam upaya pembangunan sumber daya manusia, anak paling rentan terhadap berbagai gangguan. Dibandingkan usia dewasa, anak mempunyai resiko kematian (mortalitas) dan kesakitan (morbiditas) yang lebih tinggi. Di Negara berkembang seperti Indonesia, berbagai penyakit infeksi dan gangguan gizi mengancam kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan anak.

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa anak-anak Indonesia yang lahir akan bertahan dengan keadaan gizi baik hingga 6 bulan, namun setelah 6 bulan keadaanya gizi mulai menurun. Hal ini terjadi karena kebutuhan gizi semakin meningkat, sementara produksi ASI semakin menurun dan pemberian MP-ASI belum sesuai dengan kecukupan gizi bayi. Kondisi ini pada giliranya menimbullkan Kekurangan Energi Protein (KEP) pada bayi (Kompas, 2008).
Upaya peningkatan status kesehatan dan gizi bayi dan anak melalui perbaikan perilaku masyarakat dengan pemberian makanan tambahan merupakan bagian dari upaya perbaikan gizi masyarakat secara menyeluruh. Dalam rangka menanggulangi dampak krisis ekonomi terhadap status kesehatan dan gizi pada keluarga miskin, berbagai langkah dan upaya terus menerus dilakukan oleh pemerintah, salah satu upayanya adalah pemberian makanan tambahan kepada bayi berupa MP-ASI.
Bayi Bawah Garis Merah (BGM) keluarga miskin adalah bayi usia 6 -11 bulan yang berat badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah pada KMS. Keluarga miskin adalah keluarga yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Tim Koordinasi Kabupaten/Kota (TKK) dengan melibatkan Tim Desa dalam mengidentifikasi nama alamat gakin secara tepat sesuai dengan Gakin yang disepakati. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-11 bulan BGM dari keluarga miskin adalah pemberian MP-ASI dengan porsi 100 gram per hari selama 90 hari (Dinkes xxx, 2007).
Cakupan bayi BGM Gakin yang mendapat MP-ASI di Provinsi xxx tahun 2007 sebesar 95,72%, mengalami peningkatan bila dibandingkan cakupan tahun 2006 yang hanya mencapai 48,76%. Dari 35 Kabupaten/Kota, sebanyak 9 Kabupaten/Kota tidak masuk datanya. Dari Kabupaten/Kota yang masuk datanya hanya 5 Kabupaten/Kota yang cakupanya di bawah 100%, sedang Kabupaten/Kota lainya, semua sudah mencapai 100% (Dinkes xxx, 2007).
Dari data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota xxx tahun 2009 cakupan gizi balita BGM (Bawah Garis Merah) yang berumur 6-24 bulan paling tinggi terdapat di wilayah puskesmas xxx yaitu sebanyak 37 balita.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara observasi oleh peneliti pada bulan Mei di Desa xxx yang dilakukan pada 10 ibu terkait dengan perilaku diantaranya terdapat beberapa ibu yang kurang berperan dalam memilih jenis makanan, memasak/mengolah makanan, menyiapkan hidangan serta menentukan kapan suatu jenis makanan diberikan pada anak. Sedangkan permasalahan yang muncul 70% menyatakan sangat kurang berperan dalam menentukan pemberian makanan pada anak dan 30% menyatakan sudah sedikit berperan dalam menentukan pemberian makanan pada anak.
Berdasarkan survey diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul tentang “Study Deskriptif Perilaku Ibu Yang Mempunyai Bayi Umur 6-24 bulan Dalam Pemberian MP-ASI di Desa xxxx”
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara observasi oleh peneliti pada bulan Mei di Desa xxx yang dilakukan pada 10 ibu terkait dengan perilaku diantaranya terdapat beberapa ibu yang kurang berperan dalam memilih jenis makanan, memasak/ mengolah makanan, menyiapkan hidangan serta menentukan kapan suatu jenis makanan diberikan pada anak. Sedangkan permasalahan yang muncul 70% menyatakan sangat kurang berperan dalam menentukan pemberian makanan pada anak dan 30% menyatakan sudah sedikit berperan dalam menentukan pemberian makanan pada anak.
Sehingga menimbulkan suatu kajian “Bagaimana perilaku ibu dalam pemberian Makanan Pendamping ASI di Desa xxx”?

C.Tujuan Penelitian
1.Tujuan Umum
Mengetahui perilaku ibu yang mempunyai bayi umur 6 – 24 bulan dalam pemberian MP-ASI.
2.Tujuan Khusus
a.Mengetahui karakteristik ibu (umur, pendidikan, tingkat ekonomi) yang memempunyai bayi umur 6 – 24 bulan di Desa xxx Kecamatan xxx Kabupaten xxx.
b.Mengetahui perilaku ibu yang mempunyai bayi umur 6 –24 bulan dalam pemberian MP-ASI di Desa xxx Kecamatan xxx Kabupaten xxx.

D.Manfaat Penelitian
1.Bagi Institusi Pendidikan Kesehatan
Memberi informasi kepada institusi mengenai perilaku dalam pemberian MP-ASI dan untuk penelitian selanjutnya.
2.Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat di pergunakan sebagai informasi sebagai kontribusi dan meningkatkan pendidikan kesehatan atau penyuluhan mengenai pemberian MP-ASI.
3.Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk menerapkan atau mengaplikasikan materi penelitian yang didapat di bangku kuliah.
4.Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai informasi atau gambaran perilaku masyarakat mengenai pemberian MP-ASI bagi bayi umur 6 – 24 bulan.




E.KEASLIAN PENELITIAN
No
Pengarang
Judul
Sampel
Metode
Hasil
1.


Atik Kholidiyah
Tingkat pengetahuan ibu tentang makanan pendamping ASI pada bayi umur 6 sampai 24 bulan di BPS Suwarni Kelurahan Kebun Batur Demak
30 orang
Study Deskriptif
Berdasarkan tingkat pengetahuan ibu tentang MP-ASI di BPS Suwarni Kelurahan Kebun Batur Demak, ibu yang mempunyai bayi umur 6 sampai 24 bulan yang telah mendapatkan MP-ASI pada tahun 2007 sesuai dengan survey awal yang dilakukan oleh peneliti didapatkan 32 orang

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang ini adalah penelitian terdahulu yang diteliti adalah tingkat pengetahuan ibu tentang MP ASI pada bayi umur 6 - 24 bulan dan dalam penelitian sekarang ini yang diteliti adalah perilaku ibu yang mempunyai bayi umur 6 - 24 bulan dalam pemberian MP ASI.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.TINJAUAN
1.Konsep Dasar Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas dari individu terhadap lingkungannya (Yetti Zein A, 2005), sedangkan menurut Notoatmodjo (2007) perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makluk hidup) yang bersangkutan. Notoatmodjo (2007) dengan mengutip Skiner (1938) seorang psikolog, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Menurut Notoatmodjo (2007) dilihat dari respon stimulus, perilaku dapat dibedakan menjadi dua :
a.Convert Behaviour (Perilaku Tertutup)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum diamati secara jelas oleh orang lain.
b.Over Behaviour (Perilaku Terbuka)
Respon terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulasi tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah dapat diamati/dilihat oleh orang lain.
Selengkapnya...

Rabu, 17 November 2010

KTI KEBIDANAN : TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENYUSUI TENTANG PERAWATAN PAYUDARA DI RB XXX KABUPATEN XXX TAHUN 2010

BUTUH KTI INI MURAH HUB : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air susu ibu (ASI) adalah cairan kehidupan terbaik yang sangat dibutuhkan oleh bayi. ASI mengandung berbagai zat yang penting untuk tumbuh kembang bayi dan sesuai dengan kebutuhannya. Meski demikian, tidak semua ibu mau menyusui bayinya karena berbagai alasan. Misalnya takut gemuk, sibuk, payudara kendor dan sebagainya (Roesli, 2008).
Di lain pihak, ada juga ibu yang ingin menyusui bayinya tetapi mengalami kendala. Biasanya ASI tidak mau keluar atau produksinya kurang lancar. Banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi ASI. (Ambarwati, 2008).
ASI sebagai bahan makanan alamiah adalah makanan yang terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkan. Selain komposisinya sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang berubah sesuai kebutuhan, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindarkan bayi dari berbagai penyakit. Sedemikian rupa banyaknya manfaat dan pentingnya ASI, maka seorang ibu dan tenaga kesehatan harus memperhatikan kecukupan ASI pada bayi. Oleh karena itu disini peran seorang ibu harus dipersiapkan sebaik mungkin pada proses laktasi baik pada masa prenatal maupun pada masa post natal. Salah satunya adalah melakukan perawatan payudara pada ibu nifas untuk memperlancar laktasi. (Ambarwati, 2008).
Data menunjukkan bahwa pemberian ASI pada bayi berumur 2 bulan hanya 64 persen. Persentase ini kemudian menurun cukup tajam menjadi 46 persen pada bayi berumur 2 – 3 bulan dan 14 persen pada bayi berumur 4 – 5 bulan. Keadaan lain yang memprihatinkan, adalah 13 persen dari bayi berumur di bawah 2 bulan telah diberi susu formula dan 15 persen telah diberi makanan tambahan (SDKI 2002). Untuk Jawa Tengah, Pemberian ASI hanya sebesar 54% pada usai 2-3 bulan dan untuk usia 4-12 bulan hanya 35% (Profil kesehatan provinsi jateng, 2007). Sedangkan Kabupaten Xxx untuk bayi berusia 1-3 bulan hanya sebesar 52% yang mendapat ASI dan yang berusia 3-6 bulan hanya 42% (Dinkes Xxx, 2008).
Berbagai hal mempengaruhi pengeluaran ASI yakni diperlukan hormon oksitosin yang kerjanya dipengaruhi oleh proses hisapan bayi. Semakin sering puting susu dihisap oleh bayi maka semakin banyak pula pengeluaran ASI. Hormon oksitosin sering disebut sebagai hormon kasih sayang. Sebab, kadarnya sangat dipengaruhi oleh suasana hati, rasa bahagia, rasa dicintai, rasa aman, ketenangan, relaks, perawatan payudara, konsumsi rokok dan alcohol serta umur kehamilan saat melahirkan (Siregar. A, 2009).
Salah satu alasan tidak diberikanya ASI pada bayi adalah para ibu menyusui merasa bahwa ASI yang dikeluarkanya kurang untuk kebutuhan bayi. Hal tersebut juga diikuti dengan ibu hamil yang melakukan perawatan payudara secara khusus yang bertujuan untuk memaksimalkan agar ASI yang keluar dapat maskimal belum sepenuhnya dilakukan, sehingga kuantitas ASI yang dikeluarkanpun tidak dapat maksimal padahal manfaat Air Susu Ibu (ASI) tidak perlu diragukan lagi (Suradi, 2002).
Perawatan payudara yang baik dan benar memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan Produksi ASI. Selain memaksimalkan produksi ASI eksklusif, perawatan payudara yang baik dan benar dapat menghindarkan ibu dari bahaya pembengkakan payudara, saluran ASI tersumbat (Sibuea, 2003).
Penyumbatan payudara yang sering terjadi pada masa nifas sebenarnya dapat dicegah dengan dilakukannya perawatan payudara sebelum dan setelah melahirkan. Perawatan yang dilakukan terhadap payudara berttjuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan mencegah tersumbatnya saluran susu sehingga memperlancar pengeluaran ASI. Pelaksanaan perawatan payudara hendaknya dimulai sedini mungkin yaitu 1- 2 han setelah bayi dilahirkan dan dilakukan dua kali sehani (Huliana, 2003). Perawatan payudara yang dilakukan meliputi pengurutan payudara, pengosongan payudara, pengompresan payudara dan perawatan puting susu.
Dengan perawatan payudara pada ibu nifas yang baik maka laktasi akan lancar, sehingga akan memberikan kecukupan ASI pada bayi yang baru dilahirkan. Tanda-tanda bayi yang mendapatkan ASI cukup antara lain : (1) setelah menyusu bayi akan tidur/tenang; (2) selama 3-4 jam bayi kencing lebih sering sekitar 8 kali sehari; (3) BB bayi naik dengan memuaskan sesuai dengan umur (Soetjiningsih, 2001). Sebaliknya apabila ASI tidak dapat keluar dengan lancar maka akan terjadi kegagalan dalam proses laktasi.
Sebagai seorang tenaga kesehatan khususnya bidan harus benar-benar memperhatikan betapa pentingnya perawatan payudara untuk mempelancar produksi ASI. Perawatan payudara bisa dilakukan secara teratur 2 kali sehari selama + 15 menit yaitu pagi dan sore sebelum mandi, menjaga kebersihan payudara, menggunakan BH yang menyokong payudara, perawatan payudara dihentikan apabila ibu merasa nyeri
Dari study pendahuluan yang dilakukan penulis pada bulan Januari 2010 terhadap 12 ibu-ibu menyusui dan pernah menyusui di wilayah kerja di RB XXX melalui wawancara kepada 12 orang dan mendapatkan hasil 2 orang (16,7%) yang masih dan pernah memberikan ASI pada bayinya dan melakukan perawatan payudara dengan baik sesuai dengan teori. Sedangkan sisanya 10 (83,3%) tidak melakukan perwatan payadara (RB Xxx).
Dari uraian masalah di atas, Peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Tingkat Pengetahuan Ibu menyusui tentang Perawatan Payudara di RB Xxx Kabupaten Xxx Tahun 2010”.
Selengkapnya...

Minggu, 14 November 2010

KTI NEW UPDATE 2010 : TINGKAT PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG IMUNISASI TETANUS TOXOID (TT) DI PUSKESMAS xxx

BUTUH KTI INI UNTUK REFERENSI HUB : 081 225 300 100

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Angka kematian maternal, neonatal dan perinatal ditemukan cukup tinggi pada hampir semua negara berkembang. Kematian umumnya terjadinya pada masa rawan yang berhubungan dengan kehamilan dan kelahiran (Depkes RI, 2000). Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih merupakan yang tertinggi dibandingkan AKI di negara – negara ASEAN lainnya (SDKI, 2003).
Angka Kematian Ibu di Indonesia sebesar 248/100.000 kelahiran hidup sedangkan Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia tercatat 116,3/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2008). Angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Xxx untuk tahun 2008 berdasarkan laporan dari Kabupaten / Kota sebesar 114,42/100.000 kelahiran hidup sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Xxx sebesar 9,17/1000 kelahiran hidup (Dinkes Prop. Xxx 2008). Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga 2003 salah satu penyebab utama Kematian Bayi di Indonesia dikarenakan 10 % karena Tetanus Neonatorum.
Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Infeksi tetanus disebabkan oleh sejenis bakteri yang menghasilkan toksin yang mematikan bakteri tersebut tumbuh dalam keadaan yang kotor. Kuman penyebab tetanus adalah Clostridium Tetani (Depkes, 2003). Faktor resiko yang menyebabkan tetanus neonatorum adalah persalinan yang tidak memenuhi 3 bersih yaitu perawatan tali pusat tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil tidak dilakukan atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan ketentuan program (Saiffudin, 2006).
Angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia tahun 2005 Sebanyak 140 kasus dengan 82 kematian Case fatality Rate (CFR) sebanyak 58,57% (Depkes RI, 2005). Di Propinsi Xxx pada tahun 2005 ditemukan 9 kasus Tetanus Neonatorum, 2 diantaranya meninggal dengan Case fatality Rate (CFR) sebesar 22,22% (Dinkes Prop. Xxx 2005).
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional pemerintah sangat menekankan untuk menurunkan angka kematian bayi karena tetanus neonatorum dengan melalui program-program kesehatan. Salah satu upaya yang dianjurkan pemerintah adalah peningkatan cakupan imunisasi. Imunisasi yang berkaitan dengan upaya penurunan kematian bayi diantaranya adalah imunisasi Tetanus Toxoid (TT) kepada calon pengantin wanita dan ibu hamil (Depkes RI, 2003).
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) adalah antigen yang sangat aman untuk ibu hamil maupun calon pengantin wanita, tidak ada bahayanya bagi janin yang dikandung ibu yang mendapat imunisasi Tetanus Toxoid (TT) (Depkes RI, 2000). Pada ibu hamil imunisasi TT diberikan selama masa kehamilannya dengan frekuensi dua kali dengan interval waktu minimal empat minggu. Tujuan dari imunisasi TT adalah untuk melindungi ibu terhadap kemungkinan infeksi tetanus bila terluka dan memberikan kekebalan terhadap penyakit Tetanus Neonatorum kepada bayi yang akan dilahirkan dengan tingkat perlindungan vaksin sebesar 90 – 95 % (Depkes RI, 2000).
Menurut data Dinas kesehatan kota xxx diketahui bahwa pelayanan imunisasi TT1 dan TT2 pada ibu hamil tahun 2007 terjadi penurunan. Tahun 2006 TT1 sebanyak 92 % dan TT2 85 % sedangkan tahun 2007 pemberian imunisasi pada ibu hamil mencakup TT1 sebesar 20.090 ibu hamil (71,86%) dan TT2 sebesar 18.189 ibu hamil (65,06%), jumlah pemberian imunisasi TT1 dan TT2 tahun 2007 masih belum memenuhi target yang ditentukan pemerintah yaitu sebesar 95% (Dinkes kota xxx, 2007). Dari data pendataan di Puskesmas Xxx Kecamatan Xxx Kota Xxx didapatkan cakupan imunisasi TT1 dan TT2 tahun 2007 sebesar TT1 sebanyak 745 jiwa (69,89 %) dan TT2 tercatat sebanyak 734 jiwa (68,28%) sedangkan pada tahun 2008 TT1 tercatat sebanyak 523 jiwa (68,28%) dan TT2 406 jiwa (53,00%). Dari data tersebut menunjukan pelayanan pemberian imunisasi TT1 dan TT2 dari tahun 2007 sampai tahun 2008 juga terjadi penurunan dan masih belum memenuhi target sasaran yang di tetapkan oleh Puskesmas Xxx Kecamatan Xxx Kota Xxx yaitu minimal 80%. Menurut data ibu hamil di puskesmas xxx angka cakupan yang di bawah target tersebut ada ibu hamil yang drop out dari imunisasi TT di karenakan salah satunya ibu hamil ada yang takut disuntik dan kurangnya pengetahuan tentang imunisasi Tetanus Toxoid.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dengan meningkatnya pendidikan dan informasi yang diperoleh maka akan meningkatkan pengetahuan dan akan menimbulkan sikap atau perilaku yang positif. Dari pengalaman dan penelitian ternyata perintah yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Puskesmas Xxx Kecamatan Xxx Kota Xxx, didapatkan data jumlah total ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan dalam kurun waktu bulan oktober – Desember 2009 adalah sebanyak 113 orang ibu hamil dengan cakupan TT1 sebanyak 51 ibu hamil (45,13%) dan TT2 62 ibu hamil (54,87%). Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 10 orang ibu hamil, terdapat 6 orang ibu hamil (60%) yang belum mengetahui tentang pengertian, maksud dan tujuan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan 4 orang ibu hamil (40%) sudah cukup mengetahui tentang pengertian, maksud dan tujuan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT).
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi Tetanus Toxoid (TT) di Puskesmas Xxx Kecamatan Xxx Kota Xxx tahun 2010”

A. PERUMUSAN MASALAH
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) adalah antigen yang sangat aman untuk ibu hamil maupun calon pengantin wanita, tidak ada bahayanya bagi janin yang dikandung ibu yang mendapat imunisasi Tetanus Toxoid (TT). Pada ibu hamil imunisasi TT diberikan selama masa kehamilannya dengan frekuensi dua kali dengan interval waktu minimal empat minggu. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Puskesmas Xxx Kecamatan Xxx Kota Xxx, didapatkan data jumlah total ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan dalam kurun waktu bulan oktober – Desember 2009 adalah sebanyak 113 orang ibu hamil dengan cakupan TT1 sebanyak 51 ibu hamil (45,13%) dan TT2 62 ibu hamil (54,87%). Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 10 orang ibu hamil, terdapat 6 orang ibu hamil (60%) yang belum mengetahui tentang pengertian, maksud dan tujuan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan 4 orang ibu hamil (40%) sudah cukup mengetahui tentang pengertian, maksud dan tujuan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT).
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah “Bagaimanakah Tingkat pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi Tetanus Toxoid (TT) di Puskesmas Xxx Kecamatan Xxx Kota Xxx tahun 2010”.
Selengkapnya...

Selasa, 09 November 2010

KTI KEBIDANAN NEW 2010 : PERILAKU IBU MENYUSUI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI ASI

Butuh KTI INi SEBAGAI BAHAN REFERENSI HUB : NURUL 081225300100
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) bagi bayi sangat bermanfaat dan merupakan makanan yang paling cocok karena dapat memberikan gizi yang paling sesuai untuk kebutuhan bayi, melindungi dari berbagai infeksi dan memberikan hubungan kasih sayang yang mendukung semua aspek pertumbuhan bayi, termasuk kesehatan dan kecerdasan bayi.
Sedangkan bagi ibu memberikan ASI dapat mengurangi perdarahan saat persalinan, menunda kesuburan dan meringankan beban ekonomi. Dilihat dari perspective gender pemberian ASI adalah salah satu bentuk pemberdayaan perempuan yaitu bahwa perempuan diberikan hak untuk memberikan kasih sayang pada buah hatinya. (Roesli, 2002).
Pemberian ASI di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya, upaya meningkatkan perilaku menyusui pada ibu yang memiliki bayi, khususnya ASI ekslusif masih dirasa kurang. Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya kesadaran akan pentingnya ASI. Pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung peningkatan penggunaan ASI, dan gencarnya promosi susu formula dan ibu bekerja (Roesli, 2005).
Sebagai gambaran pemberian ASI di Indonesia berdasarkan SDKI (Survei Demografi Kesehatan Iindonesia) 2007 yaitu 32,3%, masih jauh dari rata-rata dunia yaitu 38%. Saat ini bayi kurang dari 6 bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% tahun 2002 menjadi 27,9% pada tahun 2007 (SDKI 2007). Di jawa tengah pemberian ASI eksklusif adalah 34,53%, di Semarang 13,49% tahun 2006 menurun menjadi 7,74% tahun 2008 (Depkes, 2008).
Pencapaian ASI eksklusif hingga saat ini juga belum mengembirakan. Hal ini karena ibu kurang percaya diri bahwa ASInya cukup untuk bayinya. Kurangnya pengetahuan ibu tentang cara menyusui yang baik dan benar, kurangnya pengertian dan ketrampilan petugas kesehatan tentang keunggulan ASI dan manfaat menyusui menyebabkan mereka mudah terpengaruhi oleh promosi susu formula yang sering dinyatakan sebagai Pengganti Air Susu Ibu (PASI). Penelitian di Bogor tahun 2001 menunjukkan bahwa 18,7% dari ibu-ibu dianjurkan oleh petugas kesehatan untuk memberi susu formula pada minggu pertama setelah kelahiran. Sedangkan sumber promosi-promosi susu formula adalah pelayanan kesehatan (76%) dimana 21% ibu melihat iklan susu formula di rumah sakit. Lebih dari 60% ibu-ibu menyatakan menerima susu formula bayi melalui rumah sakit atau rumah bersalin yang seharusnya menjadi pelopor bagi peningkatan penggunaan ASI (Depkes RI, 2001). Dari data yang telah diperoleh tersebut sangat mempengaruhi perilaku ibu menyusui dalam upaya meningkatkan produksi ASI. Bila perilaku tersebut masih dilaksanakan maka produksi ASI akan menurun, maka bayi kurang mendapatkan ASI yang optimal. Dari berbagai penelitian bayi yang tidak mendapatkan ASI secara optimal, akan mudah sakit. Karena kurang mendapatkan antibodi dari ASI, maka bayi akan terkena infeksi saluran urogenitalis, enterokalitis dan nekrotikans. Seperti dilaporkan hampir 90% kematian bayi terjadi di negara berkembang dan lebih dari 40% kematian disebabkan diare dan ISPA karena bayi kurang konsumsi ASI (http://ASI.blogsome.com/2009/serba-serbi menyusui).
Perilaku adalah suatu respon atau reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, bisa bersifat pasif (berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (bertindak). Perilaku juga hasil dari berbagai macam pengalaman serta interaksi manusia dalam lingkungannya yang berwujud dalam bentuk pengetahuan sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku ibu dalam upaya meningkatkan produksi ASI yaitu respon atau reaksi ibu terhadap upaya meningkatkan produksi ASI.
Upaya untuk meningkatkan produksi ASI yaitu dengan meningkatkan frekuensi menyusui, mengosongkan payudara setelah anak selesai menyusu, menjaga kondisi psikologi ibu, hindari susu formula (memberikan ASI eksklusif), hindari dot, mengkonsumsi makanan bergizi, dan melakukan perawatan payu dara (Meidya, 2007)
Penelitian yang dilakukan WHO tahun 2001 membuktikan bahwa bayi yang diberikan susu selain ASI mempunyai resiko 17 kali lebih besar mengalami diare dan 3 sampai 4 kali lebih besar kemungkinan terkena ISPA dibanding dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI secara dini sebagai awal untuk menunjang kebersihan proses menyusui di masa yang akan datang dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian bayi. (Depkes RI, 2001). Berdasarkan studi pendahuluan dari data yang didapat peneliti, pemberian ASI saja di Klinik xxx mengalami penurunan dari bulan Desember 2009 yang memberikan ASI saja adalah 18 ibu menyusui (52,94%) dari 34 ibu menyusui, pada bulan Januari 2010 menurun menjadi 9 ibu menyusui (27,2%)yang memberikan ASI saja dari 33 ibu menyusui.

B. Rumusan Masalah
Air Susu Ibu (ASI) bagi bayi sangat bermanfaat dan merupakan makanan yang paling cocok karena dapat memberikan gizi yang paling sesuai untuk kebutuhan bayi, melindungi dari berbagai infeksi dan memberikan hubungan kasih sayang yang mendukung semua aspek pertumbuhan bayi, termasuk kesehatan dan kecerdasan bayi.
Berdasarkan studi pendahuluan dari klini xxx data yang didapat peneliti, pemberian ASI eksklusif di Klinik xxx mengalami penurunan dari bulan Desember 2009 yang memberikan ASI secara eksklusif adalah 18 ibu menyusui (52,94%) dari 34 ibu menyusui, pada bulan Januari 2010 menurun menjadi 9 ibu menyusui (27,2%) yang memberikan ASI secara eksklusif dari 33 ibu menyusui.
Penelitian tentang upaya meningkatkan produksi ASI belum pernah dilakukan di Klinik xxx.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat rumusan masalah yaitu “Bagaimana Perilaku Ibu Menyusui dalam Upaya Meningkatkan Produksi ASI di Klinik xxx?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Intruksi Umum (TIU)
Untuk mengetahui perilaku ibu menyusui dalam upaya meningkatkan produksi ASI di xxx Semarang.
2. Tujuan Intruksi Khusus (TIK)
a. Untuk mengetahui karakteristik ibu menyusui meliputi umur, pendidikan, dan pekerjaan ibu.
b. Untuk mengetahui perilaku ibu menyusui dalam upaya meningkatkan produksi ASI di xxx Semarang.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Bidan
Sebagai masukan informasi mengenai gambaran perilaku ibu menyusui dalam upaya meningkatkan produksi ASI di xxx.
2. Bagi ibu menyusui
Menambah pengetahuan ibu tentang perilaku yang dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi ASI.
3. Bagi suami dan keluarga
Menambah pengetahuan bagi suami dan keluarga tentang upaya meningkatkan produksi ASI, sehingga suami dan keluarga dapat memberikan dukungan dan dorongan kepada ibu untuk meningkatkan produksi ASI.
4. Bagi Mahasiswa Kebidanan
Memberikan tambahan informasi bagi mahasiswa dibidang penelitian serta menambah pengetahuan dan pemahaman tentang upaya meningkatkan produksi ASI.
5. Bagi peneliti
Apat memberikan tambahan pengalaman tentang perilaku ibu menyusui alam upaya meningkatkan prouksi ASI an apat iterapkan langsung ke masyarakat.

E. Keaslian Penelitian
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan minarwati dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi perilku ibu menyusui di desa Sidomukti, kecamatan bandungan kabupaten semarang dengan jenis penelitian deskriptif dan metode cross sectional tahun 2008 dengan jumlah sample 35 responden.
Perbedaan dengan peneliti adalah judul peneliti perilaku ibu menyusui dalam upaya meningkatkan produksi ASI di klinik xxx dengan jenis penelitian deskriptif sedangkan jumlah sample 34 responden, daerah penelitian xxxdan dilasanakn pada tahun 2010.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Perilaku
Perilaku adalah suatu respon atau reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, bisa bersifat pasif (berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (bertindak). Perilaku juga hasil dari berbagai macam pengalaman serta interaksi manusia dalam lingkungannya yang berwujud dalam bentuk pengetahuan sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2003).
Selengkapnya...

Senin, 08 November 2010

KTI KEBIDANAN UPDATE 2010 : PERSEPSI SUAMI TERHADAP MENOPAUSE YANG AKAN DIALAMI ISTRI DI PUSKESMAS xxx

KTI NEW 2010 LENGKAP BAB 1-5 HUB : 081225300100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu munculnya stress pada kaum wanita ialah adanya persepsi pada mereka bahwa usia semakin lanjut menandakan tubuh semakin renta, kulit semakin keriput, dan wajah semakin suram. Hal ini bagi istri akan berlanjut dengan sikap cemas dan rasa takut. Terutama tentang perhatian suami terhadap istri yang baru mulai berpredikat sebagai ibu.
Wanita sebagai manusia dilahirkan didunia dibekali naluri dan fungsi fisik maupun psikis yang belum berkembang sempurna. Wanita mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Siklus hidup wanita dari bayi sampai senium adalah runtut mengikuti kurva perjalanan hidup. Tahapan hidup wanita salah satunya adalah menopause ( Jones, 2002 )
Menopause adalah proses fisiologis normal yang akan dialami setiap wanita dan sering dikenal sebagai masa berakhirnya Menstruasi yang rata –rata terjadi pada usia 40 – 50 tahun. Di Indonesia sendiri usia wanita mengalami menopause sama seperti usia menopause pada wanita di Negara – Negara barat yaitu sekitar 50 tahun dengan usia harapan hidup 62 tahun (Jamil, 2002 ). Ada sebagian wanita yang mengalami menopause pada usia kurang 40 tahun yang disebut menopause dini dan ada sebagian lagi yang mengalami menopause pada usia lebih dari 52 tahun ( Sarwono, 2002 )........untuk lebih lengkap BAB 1-5 HUB : 081225300100
Selengkapnya...

Minggu, 07 November 2010

KTI KEBIDANAN NEW : GAMBARAN PELAKSANAAN RAWAT GABUNG TERHADAP KEMANDIRIAN IBU PRIMIPARA TENTANG TEHNIK MENYUSUI DI RSUD

DAPATKAN REFERENSI LENGKAP BAB 1-5 HUB : YUYUN : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan survey demografi kesehatan Indonesia tahun 2002 – 2003 hanya ada 4% bayi yang mendapat ASI dalam satu jam pertama kelahirannya dan hanya 8% bayi di Indonesia yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan, sedangkan pemberian susu formula terus meningkat hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (DKK Surabaya, 2008).
Sedangkan pada tahun 2003cakupan ASI eksklusif baru mencapai 17,60%, masih sangat rendah dibandingkan denga target yang diharapkan (profil kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2003). Program pembangunan nasional (propenas) tahun 2000 – 2004 yang mencantumkan tingkat pencapaian pemberian ASI eksklusif ibu kepada bayi yang harus dicapai sekitar 80% (Saifuddin, 2008). Hal yang mempengaruhi yaitu ibu kurang percaya diri bahwa ASI nya cukup untuk bayinya, kurangnya pengetahuan ibu tentang cara menyusui yang benar, kurangnya pengertian dan keterampilan petugas kesehatan tentang keunggulan ASI dan manfaat menyusui menyebabkan mereka mudah terpengaruh oleh promosi susu formula (Depks RI, 2001).
Sistem rawat gabung merupakan sistem perawatan bayi yang disatukan dengan post partum sehingga ibu dapat melakukan semua perawatan pada bayinya. Dengan rawat gabung diharapkan dapat terjalin hubungan attachment yang semakin erat dengan antara ibu dan bayi serta melatih keterampilan ibu khususnya primipara dalam menyusui dan merawat bayinya. Konsep rawat gabung ini sering mengalami kegagalan karena ibu sering menganggap sebagai suatu paksaan atau rekayasa dari perawat untuk meringankan tugas mereka, disamping itu keengganan ibu sendiri dengan berbagai macam alasan (tabloid_nikita, 2009)
Selengkapnya...

Sabtu, 06 November 2010

KTI KEBIDANAN UPDATE : STUDY KORELASI PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU PUS AKSEPTOR KONTRASEPSI NON HORMONAL TENTANG KONTRASEPSI HORMONAL DI DESA ..

PESAN SEBAGAI BAHAN REFERENSI LENGKAP BAB 1 - 5 HUB : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah
Kita ketahui bahwa sampai saat ini belumlah tersedia satu metode kontrasepsi yang benar-benar 100% ideal/sempurna. Pengalaman menunjukkan bahwa saat ini pilihan metode kontrasepsi umumnya masih dalam bentuk cafetaria atau supermaket, yaitu calon akseptor memilih sendiri metode kontrasepsi yang diinginkannya.
Namun dalam memilih metode kontrasepsi hendaknya mempertimbangkan dua aspek yaitu aspek calon akseptor dan aspek medis, agar metode yang dipakai baik dan aman (Hartanto, 1996 : 36-37).
Gerakan Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah berumur panjang (sejak 1970) dan masyarakat dunia menganggap Indonesia berhasil menurunkan angka kelahiran sangat bermakna. Masyarakat dapat menerima hampir semua metode medis teknik Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah (Manuaba, 1998 : 437). Kontrasepsi adalah upaya mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara dapat pula bersifat permanen. Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi fertilitas (Sarwono, 1999 : 905).
Macam alat kontrasepsi banyak sekali antara lain : pil KB, suntik KB, implan, AKDR, kontap dan metode sederhana.
Selengkapnya...

KTI KEBIDANAN UPDATE : STUDY DESKRIPTIF KEJADIAN BALITA KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP) DI DESA xxx

PESAN HUB : 081225300100
BAB I
PENDAHULUAN
E. LATAR BELAKANG MASALAH
protein. (Kristijono A, 2000)
Data Susenas tahun 2000 menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari
37,5 % (1989) menjadi 24,6%. Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan penurunan
prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat. (Kristijono
A, 2000)

Menurut Menkes, Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi merupakan instrumen
kebijakan yang mengintegrasikan berbagai kebijakan dan strategi sektor yang terkait
dengan perbaikan gizi masyarakat. Dengan mengutip kesepakatan pertemuan
konsultatif WHO/FAO di India tahun 2004 bahwa di dalam Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi di suatu negara sekurangnya memerlukan 4 strategi utama, yaitu : (1)
strategi dibidang peningkatan akses dan cakupan pelayanan gizi dan kesehatan yang
berkualitas; (2) strategi yang diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan tingkat
rumah tangga; (3) strategi untuk meningkatkan keamanan pangan, dan (4) strategi
yang mengarah pada peningkatan pola menu sehat dan aktivitas fisik. Tujuan
penyusunan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-Pangan dan Gizi) 2006-
2010 antara lain, meningkatkan pemahaman peran pembangunan pangan dan gizi
viii
sebagai investasi untuk SDM berkualitas, meningkatkan kemampuan menganalisis
perkembangan situasi pangan dan gizi, dan meningkatkan koordinasi penanganan
masalah secara terpadu. (http//ketapa.birobinprod.jabarprov.go.id.)
Mulai tahun 1998, upaya penanggulangan balita gizi buruk mulai ditingkatkan
dengan penjaringan kasus, rujukan dan perawatan gratis di Puskesmas maupun Rumah
Sakit, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) serta upaya-upaya lain yang bersifat
Rescue. Bantuan pangan (beras Gakin dll) juga diberikan kepada keluarga miskin oleh
sektor lain untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua
upaya tersebut nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah dan meningkatkan
kembali status gizi masyarakat, khususnya pada balita. Balita gizi buruk dan gizi
kurang yang mendapat bantuan dapat disembuhkan, tetapi kasus-kasus baru muncul
yang terkadang malah lebih banyak sehingga terkesan penanggulangan yang dilakukan
tidak banyak artinya, sebab angka balita gizi buruk belum dapat ditekan secara
bermakna.(http//ketapa.birobinprod.jabarprov.go.id.)
Ruang lingkup penanggulangan balita gizi buruk dari tingkat Kabupaten,
Kecamatan sampai tingkat rumah tangga meliputi prosedur penjaringan kasus balita
gizi buruk, prosedur pelayanan balita gizi buruk puskesmas, prosedur pelacakan balita
gizi buruk dengan cara investigasi, prosedur pelayanan balita gizi buruk di rumah
tangga, prosedur koordinasi lintas sektoral dalam upaya penanggulangan gizi buruk.
Di Puskesmas Sukodono dilaporkan jumlah penderita KEP sampai dengan bulan
April 2008 sebanyak 610 balita dari 7273 balita. Di Desa Jumputrejo, jumlah penderita
KEP ditemukan dengan jumlah 68 (13,26 %) balita dari 513 balita. Sedangkan di
Dusun Keling sendiri, jumlah penderita KEP mencapai 23 (16,31 %) balita dari 141
balita. Oleh karena itu kami mengadakan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi balita berkaitan dengan adanya insiden KEP yang tinggi di Desa
Jumputrejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2008.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi tingginya angka kejadian balita KEP di Desa Jumputrejo,
Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.
Dari rumusan masalah tersebut, dapat dirinci sub-sub masalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh kurangnya tingkat pengetahuan ibu terhadap terjadinya KEP ?
ix
2. Adakah pengaruh rendahnya pendidikan terhadap terjadinya KEP?
3. Adakah pengaruh pola asuh balita terhadap terjadinya KEP?
4. Adakah pengaruh jenis pekerjaan ibu dengan terjadinya KEP?
5. Adakah pengaruh imunisasi terhadap terjadinya KEP?
6. Adakah pengaruh kekurangan vitamin A dengan terjadinya KEP?
7. Adakah pengaruh penyuluhan kesehatan dengan terjadinya KEP?
8. Adakah pengaruh pemberian ASI dengan terjadinya KEP?
9. Adakah pengaruh pemberian PASI dengan terjadinya KEP?
10. Adakah pengaruh frekuensi, jumlah dan jenis pemberian makanan dengan
terjadinya KEP?
11. Adakah pengaruh penyakit diare dan TBC dengan terjadinya KEP?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor-faktor sosial
ekonomi, asupan nutrisi, pelayanan kesehatan, riwayat penyakit sebelum dan
selama KEP berpengaruh terhadap kejadian balita KEP Desa xxxx.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah faktor sosial ekonomi berikut berpengaruh terhadap
kejadian balita KEP:
1) Tingkat pengetahuan ibu tentang penyebab KEP.
2) Tingkat pendidikan ibu.
3) Jenis pekerjaan ibu.
4) Pola asuh balita.
5) Tingkat penghasilan.
b. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh faktor-faktor asupan nutrisi sebagai
berikut terhadap terjadinya KEP:
1) Pemberian ASI
2) Pemberian PASI.
3) Kualitas dan kuantitas pemberian makanan.
c. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh faktor-faktor pelayanan kesehatan
x
berikut terhadap terjadinya KEP:
1) Imunisasi.
2) Penyuluhan kesehatan.
3) Pelayanan posyandu
4) Pemberian vitamnin A.
d. Untuk mengetahui apakah ada riwayat penyakit sebagai berikut sebelum
menderita KEP terhadap terjadinya KEP:
1) Diare
2) TBC Paru / Suspect TBC Paru
D. MANFAAT HASIL PENELITIAN
1. Manfaat Bagi Program :
Sebagai informasi untuk bahan pertimbangan bagi Puskesmas Sukodono guna
menyusun strategi lebih lanjut sehingga dapat menurunkan insiden KEP di
kecamatan Sukodono
2. Manfaat Bagi Masyarakat :
a. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang gizi balita.
b. Meningkatnya kesadaran ibu untuk memperbaiki pola asuh terhadap balita.
3. Manfaat Bagi Peneliti Yang Akan Datang :
Dapat dijadikan data dasar untuk penelitian lebih lanjut terutama yang
berhubungan dengan terjadinya KEP.
xi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KURANG ENERGI PROTEIN ( KEP)
E. DEFINISI
Kekurangan Energi Protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari, sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi. (H. Boerhan. I. Roedi. & H. Siti Nurul, 2006, p. 175)
F. KLASIFIKASI
Menurut baku median WHO – NCHS, KEP dibagi beberapa tingkatan yaitu:
(http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmgizi-evawany.pdf)
1. KEP Ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80 % dan/atau berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) 70-80% baku median WHO-NCHS.
2. KEP Sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 60-
70% baku median WHO-NCHS.
3. KEP Berat bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB <60%
baku median WHO-NCHS.
Sedangkan klasifikasi KEP berdasarkan KMS balita: (Direktorat Bina Gizi
Masyarakat, 1997)
Selengkapnya...

Selasa, 02 November 2010

KTI KEBIDANAN : PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP BIDAN DAN DUKUN BAYI SEBAGAI PENOLONG PERSALINAN

BUTUH SBG BHN REFERENSI KTI LENGKAP HUB : 081 225 300 100
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemmpuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, dengan terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang di tandai oleh penduduknya, hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Indonesia. (Depkes RI, 1992).
Tujuan pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan untuk lebih meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Hal ini ditunjukan dengan upaya meningkatakan usia harapan hidup, menurunkan angka kematian bayi, anak dan ibu melahirkan, meningkatkan kesejahteraan keluarga, meningkatkan produktivitas kerja, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Pembangunan manusia sebagai insan harus dilakukan dalam keseluruhan proses kehidupannya, mulai dari dalam kandungan, bahkan jauh sebelumnya yaitu dengan memperhatikan tingkat kesejahteraan calon ibu, kemudian sebagai bayi, balita, usia sekolah, remaja, dewasa, usia produktif sampai usia lanjut (Depkes RI, 1998).
Pada masa kehamilan dan persalinan, wanita menghadapi resiko gangguan kesehatan yang dapat mengakibatkan kematian ibu. Resiko kematian yang dialami ibu selama hamol atau bersalin di Indonesia masih tetap tinggi dan kelihatannya belum menunjukan tanda-tanda penurunan yang berarti. Tingginya AKI di Indonesia ini, antara lain disebabkan oleh belum memadainya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan rendahnya cakupan penanganan kasus obstetric. Cakupan persalinan oleh tenagan kesehatan pada tahun 1992 masih sekitar 25 % telah meningkat menjadi 67% pada tahun 1999, namun belum mencapai 80% yang diperkirakan sepadan dengan AKI sekitar 200/100.000 kelahiran hidup. Selain itu sekitar 70% persalinan masih terjadi di rumah yang dapat menghambat akses untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat bila sewaktu-waktu dibutuhkan (Djaja, dkk. 2003).
Angka kematian ibu (MMR) memberi gambaran status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan, kesehatan terutama pelayanan ibu hamil, ibu melahirkan dan masa nifas disamping masih rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Untuk menekan angka kematian ibu bersalin. Diperlukan beberapa usaha yang insentif antara lain meningkatkan peran bidan desa dan secara bertahap mengurangi peran dukun bersalin. Diperlukan beberapa usaha yang intensif antara lain meningkatkan peran bidan desa dan secara bertahap mengurangi peran dukun bersalin.Disamping hal-hal yang mempengaruhi MMR tersebut. Angka kematian ibu tersebut juga disebabkan oleh persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi.
Menurut Kogers dan Salomon. hampir dua pertiga dari jumlah kelahiran di dunia ditolong oleh dukun bayi. Salah satu sebabnya jumlah dokter dan bidan yang belum sebanding dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Oleh karena itu dukun masih mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat, khususnya di bidang kehamilan dan persalinan (Sianipar T, 1992).
Penanganan kasus obstetric baru mencapai 10 % dari perkiraan seluruh kasus komplikasi obstetric, sehingga masih banyak kematian ibu ynag tidak tertangani oleh petugas kesehatan, khususnya bila pertolongan persalinan ilakukan oleh dukun bayi atau anggota keluarga. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut, Depkes RI dibantu oleh WHO, UNICEF, UNDP, muai melaksanakan assesment safe motherhood, antara lain yaitu persalinan yang aman yang bertujuan memastikan setiap penolong kelahiran persalinan mempunyai kemampuan, ketrampilan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang bersih dan aman serta memberikan pelayanan nifas pada ibu dan bayi (Prabowo, RA, 2003).
Angka kematian ibu di Kabupaten Xxx tahun 2009 sebesar 32 kelahiran hidup dan menurut estimasi BPS diperkirakan pada tahun 2007 angka kematian ibu sudah menurun menjadi 18/18541 kelahiran hidup dan naik lagi pada tahun 2008 yaitu 21/23077 kelahiran hidup salah satu penyebab tingginya AKI tersebut adalh infeksi yang diakibatkan oleh pertolongan persalinan yang tidak aman (Profil Kes Sultra.2001).untuk cakupan pertolongan persalinan di Kabupaten Xxx yang dilakukan oleh dukun sebanyak 61 oleh bidan sebanyak 13536, dokter SpOG 3388, dokter umum 370, pedamping bidan 662, keluarga sendiri 33, sedanghkan cakupan pertolongan persalinan di kacamatan xxx yg dilakukan oleh dukun sebanyak 5, oleh bidan sebanyak 53, dpkter SpOG 16, dokter umum 2, pendamping bidan 1.
Masalahnya di desa Xxx Kecamatan Xxx Kabupaten Xxx biasanya masyarakatnya terlebih dahulu memanggil dukun bayi di banding bidan, sebab dukun bayi lebih sabar dalam menunggu persalinan, biayanya lebih murah, lebih teliti, rajin merawat bayi dan memandikan bayi.
Berdasarkan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi sebagai penolong persalinan serta faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan permasalahan penelitian yaitu : ”Bagaimana persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi sebagai penolong persalinan”.


C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi sebagai penolong persalinan di desa Xxx Kecamatan Xxx Kabupaten Xxx.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi dalam menolong persalinan di desa Xxx Kecamatan Xxx Kabupaten Xxx.
b. untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi dalam menolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi dalam pertolongan persalinan di desa Xxx Kecamatan Xxx Kabupaten Xxx.

E. Keaslian penelitian
Sepengetahuan penulis belum pernah ada penelitian mengenai persepsi msyarakt terhadp bidan dan dukunn bayi sebagai penolong persalinan desa Xxx Kecamatan Xxx Kabupaten Xxx, baik pada skripsi maupun pada tesis yang terdahulu. Namun ada penelitian yang di lakukan oleh Wiwin Mintarsih pada tahun 2001 dengan judul ”faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh bidan di desa Xxx Kecamatan Xxx Kabupaten Xxx.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan tersebut adalah 13536 pertolongan persalinan ditolong oleh bidan 3388 oleh dokter sedangkan pertolonagan persalinan oleh dukun sebesar 61, pertolongan dokter umum 370, pendamping bidan 662, keluarga sendiri 33.
Perbedaan penelitian tersebut dengan yang akan dilakukan saat ini yaitu mencakup pertolongan persalinan oleh bidan di desa pada penelitian sedangkan pada penelitian ini hanya mengetahui persepsi masyarakat terhadap bidan dan dukun bayi sebagai penolong persalinan.
Selengkapnya...